Berdana, Berdata, Berdaya
Oleh : Budiman Sudjatmiko (Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia)
Aku ingin hidup di dunia di mana ada lantai di sana. Di mana setiap orang baik-baik saja -Floyd Marinescu-
MEDAN – BERITATERKINI.CO.ID – Manusia berdana, berdata dan berdaya. Itulah tujuan kita berbangsa, baik saat normal atau terserang Corona.
Manusia dilahirkan merdeka dan harus mati dalam keadaan merdeka pula (from womb to tomb). Kebebasan di era masyarakat kapitalis ini dimaknai minimal punya pendapatan dasar. Pendapatan dasar itu dalam rupa dana yang bisa mereka pakai untuk kelestarian (survival) dan pengembangan diri.
Di lain pihak, dalam masyarakat bebas manusia juga diharapkan sanggup memanfaatkan kebebasannya untuk membangun pendapat (aspirasinya) sendiri untuk memanfaatkan dana tadi dengan ditopang oleh informasi yang setara (simetric information) dan data yang kuat.
Dia berdaulat atas data dan informasi yang ada untuk memanfaatkan dana tadi sehingga dia bisa menjadi manusia yang berdaya.
Terlebih dalam masyarakat yang dilanda pandemik COVID-19 yang mengancam keberlangsungan hidup, manusia kian mendesak untuk memiliki modal awal untuk selamat secara bermartabat. Ini salah satu tema yg enam minggu lalu dibicarakan dalam Basic Income Bootcamp yang diadakan oleh Research Center for Climate Change, Universitas Indonesia.
Acara tersebut diadakan sebelum kasus pandemik ini jadi persoalan global. Awalnya ia diadakan untuk mengantisipasi prospek hilangnya banyak lapangan pekerjaan gara-gara digitalisasi dan robotisasi dalam lapangan pekerjaan di era Revolusi Industri ke 4. Perlu ada jaminan dasar yang diberikan oleh negara supaya tiap-tiap warga Indonesia dewasa memiliki penghasilan tetap minimal.
Munculnya pandemik COVID-19 nyatanya menghadirkan ancaman kehilangan pekerjaan itu lebih cepat dari yang kita kira.
Tulisan ini saya angkat sebagai sebuah proposal sambil mengamati apa yang bisa dan sudah dilakukan di sejumlah negara. Hongkong, Jepang, Amerika Serikat dan Inggris sedang membicarakan langkah ini secara serius. Para pemikir dan politisi Konservatif maupun Progresif bertukar pikiran.
Mereka sedang membaca ulang sejarah masa lalu dan menyusun langkah sejarah ke depan. Melacak dari karya intelektual paling utopis, paling sosialistis dan paling kapitalistis (dari Thomas More sampai Milton Friedman), untuk menyelamatkan spesies manusia. Perlu keputusan pemerintah mengingat efek bergulir dari resiko pandemi COVID-9 ini.
Di tengah perdebatan itu, satu berita baik muncul dari tanah air. Kali ini dari Desa. Tepatnya desa Gunungweled Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah yang karena mengkarantina salah satu dusunnya, memutuskan menganggarkan jaminan pendapatan dasar ini dalam rupa jaminan Rp 50 ribu/hari selama masa karantina.
Sebuah langkah kecil dengan ide raksasa di belakangnya. Pertanyaannya, mungkinkah langkah tersebut dilakukan di seluruh Indonesia? Mudah saja sebenarnya untuk kita bertanya balik secara retoris, “Jika desa bisa, mengapa negara tidak?”.
JUJUR-Tanggap Darurat
Dalam diskusi kami di IndoBIG Network (Indonesia Basic Income Group Network), yang menghimpun para politisi, pegiat dan akademisi Indonesia yang mempromosikan Jaminan Pendapatan Dasar atau UBI (Universal Basic Income), muncul beberapa skenario. Tiap-tiap skenario punya konsekuensi anggaran masing-masing.
Begini kami melihatnya. Dari Jumlah penduduk Indonesia sekitar 271.000.000, dimungkinkan kita membuat setidaknya 3 skenario. Skenario ini baiklah saya namakan JUJUR-Tanggap Darurat (Jejaring Uang Jaminan untuk Rakyat-Tanggap Darurat).
Skenario pertama JUJUR-Tanggap Darurat adalah semua penduduk mendapatkan jaminan uang untuk rakyat dengan dibagi menjadi tiga kategori nominal: Rp 1.000.000/bulan, Rp 500.000/bulan dan Rp 250.000/bulan.
Proyeksi kebutuhan dana untuk JUJUR-Tanggap Darurat skenario pertama ini: Rp 122.149.100.000.000/bulan. Jika diasumsikan JUJUR-Tanggap Darurat dijalankan selama empat bulan, maka total kebutuhan dana JUJUR-Tanggap Darurat ini adalah sebesar : Rp 488.596.400.000.000. Alokasi anggaran bisa diambil dari APBD masing-masing provinsi, kabupaten kota dan juga dari APBDesa, dengan didorong oleh kebijakan dari Pemerintah Pusat.
Jika ini dirasa berat, maka ada skenario ke dua JUJUR-Tanggap Darurat di mana hanya penduduk usia 15 tahun ke atas yang mendapatkan jaminan uang tersebut. Dan jika sesuai data bahwa ini mencakup sekitar 196.000.000 penduduk dan ditentukan tiga kategori nominal: Rp 1.000.000/bulan, Rp 500.000/bulan dan Rp 250.000/bulan, maka kebutuhan dana totalnya sekitar Rp 102.530.068.000.000/bulan.
Juga jika diasumsikan JUJUR-Tanggap Darurat ini dijalankan selama 4 bulan, maka total kebutuhan dananya akan sebesar : Rp 410.120.272.000.000. Alokasi anggaran juga bisa diambil dari APBD masing-masing provinsi, kabupaten kota dan APBDesa dengan didorong oleh kebijakan dari Pemerintah Pusat.
Jika Skenario ke 2 juga masih dirasakan berat maka perlu sudut pandang kedaruratan akibat Pandemi COVID19, di mana kita dapat menjalankan skenario ke tiga JUJUR-Tanggap Darurat.
Skenario ini menentukan dahulu kategori provinsi sesuai tingkat keparahan dampak virus COVID19. Kita ambil saja sebagai contoh tentang provinsi-provinsi yang paling terdampak: semua provinsi di Jawa, ditambah Bali, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan NTB yang dipilih untuk skenario ke tiga.
Sesuai data tercatat, terdapat sekitar 190.000.000 penduduk tinggal di sebelas provinsi tersebut. Selanjutnya ditentukan lagi tiga kategori nominal: Rp 1.000.000/bulan, Rp 500.000/bulan dan Rp 250.000/bulan.
Dengan mengacu pada asumsi dan kategori ini, proyeksi kebutuhan dana totalnya untuk skenario ke tiga ini sebesar Rp 81.690.650.000.000/bulan.
Jika diasumsikan JUJUR-Tanggap Darurat dijalankan selama empat bulan, maka total kebutuhan dana skenario ke 3 adalah sebesar Rp 326.762.600.000.000. Kembali alokasi anggarannya bisa diambil dari APBD masing-masing provinsi, kabupaten kota dan desa.
Lagi-lagi dengan didorong oleh kebijakan dari Pemerintah Pusat. Terlebih sekarang tersedia dana gabungan dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) per akhir 2018 sejumlah Rp 175,24 trilyun, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) 2019 sejumlah Rp 46,5 trilyun dan SiLPA akhir Februari 2020 sebesar Rp 50,13 trilyun. Ini baru dari pemeritah pusat. Jika digabung dengan daerah dan desa, pasti sangat membantu.
Setelah membahas ketiga Skenario JUJUR-Tanggap Darurat yang mungkin dijalankan dan sumber pendanaannya, perlu dipertimbangkan juga sebuah terobosan berupa penggalangan dana gotong royong rakyat Indonesia untuk menanggung pembiayaan dalam proporsi tertentu.
Untuk itulah ketiga skenario ini disebut sebagai Jejaring. Kita asumsikan bahwa skenario pertama JUJUR-Tanggap Darurat yang dipilih untuk dijalankan, maka ada kebutuhan dana sebesar Rp 488.596.400.000.000.
Jika proporsi dana dari negara adalah 60%, maka proporsi dari Dana Gotong Royong Rakyat adalah 40% atau sebesar Rp 195.438.560.000.000,-.
Selanjutnya disusun kategori nilai sumbangan rakyat sesuai kemampuan. Data acuan yang dipilih adalah dari LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) mengenai pemilik rekening bank di Indonesia. Berdasarkan data LPS tahun 2019, terdapat sekitar 295.000.000 pemilik rekening bank di Indonesia.
Dengan mengelompokkan kategori pemilik saldo rekening dan nilai donasinya dalam empat kategori, maka bisa dimodelkan tertentu. Mari kita asumsikan pemilik saldo lebih besar dari Rp 10 milyar, yang diperkiraan sebanyak 56.500 rekening, akan menyumbang masing-masing Rp 100.000.000.
Selanjutnya pemilik saldo antara Rp 1 milyar sampai Rp 10 milyar, perkiraan jumlahnya sebanyak 508.500 rekening, akan menyumbang masing-masing Rp 10.000.000. Pada urutan berikutnya adalah pemilik saldo antara Rp 100 juta sampai Rp 1 milyar, perkiraan ada sebanyak 206.104.500 rekening, menyumbang masing-masing Rp 1.000.000.
Terakhir adalah pemilik saldo dibawah Rp 100 juta, perkiraan sebanyak 88.330.500 rekening yang akan menyumbang masing-masing Rp 100.000.
Dari metode ini bisa digalang dari Dana Gotong Royong Rakyat adalah sebesar Rp 225.672.550.000.000. Sanggup untuk membiayai 40% kebutuhan dana JUJUR-Tanggap Darurat skenario pertama.
Jika berhasil, setelah krisis akibat Pandemi COVID19 usai, ada pembelajaran yang baik tentang semangat solidaritas dan kebersamaan rakyat Indonesia. Tentunya hal ini bisa menjadi modal dasar yang baik menghadapi tantangan bangsa di era kocok ulang (disruption) sebentar lagi yang makin beragam.
Membangun Kerumunan
Semua membutuhkan modal sosial, namanya kepercayaan (trust). Adalah tugas pemerintah untuk membangun kepercayaan itu. Percaya bawa sistem kenegaraan kita bekerja dengan baik, percaya ilmu pengetahuan dan teknologi (bioinformatika) untuk penanganan pandemi bisa mengatasinya serta percaya bahwa modal pertama dan terakhir manusia untuk selamat secara bermartabat adalah kerjasama sesama manusia itu sendiri.
Kerjasama antar manusia ini selalu melahirkan kerumunan. Pada masa lalu kerumunan ini melahirkan tokoh-tokoh. Kerumunan mempercayai tokoh itu untuk menyelesaikan masalah kerumunan orang banyak. Entah itu masalah politik, agama, kebudayaan, ekonomi dan semacamnya.
Kerumunan yang sekarang kita butuhkan bukan jenis ini. Kerumunan yang harus kita buat adalah kerumunan yang saling mempercayai sesama untuk menyelesaikan masalah bersama.
Kerumunan manusia berdana dan berdaya. Tentu tanpa menghilangkan keemimpinan politik yang mampu membangun sistem yang bekerja dengan baik. Jika kerumunan jenis ke dua bisa lahir di masa Corona ini, maka ia akan jadi latihan manusia Indonesia melahirkan kerumunan jenis ke tiga.
Ini adalah jenis kerumunan manusia berdata dan berdaya yang mampu mengantisipasi masalah-masalah bersama yang belum ada tapi pasti akan ada. Kita mulai dari JUJUR-Tanggap Darurat (Jejaring Uang Jaminan untuk Rakyat-Tanggap Darurat) ini.
(M-01)