CONSTITUTIONAL DICTATORSHIP

by : Prof. Dr. Ir. IP Sudiarsa Boy Arsa, ST., LLB., MT., M.Arch., IAI., Ph.D. (Guru Besar & Senior Parther Universal Institute of Professional Management California & Singapura)

WWW.BERITATERKINI.CO.ID, Dengan menggunakan pendekatan Statistik dan Ekonometrik (By using statistical and econometric approach), stabilitas politik penting bagi pertumbuhan ekonomi (economic growth).

Lingkungan politik yang stabil adalah prasyarat pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

Menurut World bank 1996-2019; Indonesia’s Political stability index (Indeks stabilitas politik Indonesia) berada diantara angka (-2.5 weak/lemah ; 2.5 strong/kuat).

Jadi kalau diata-ratakan menjadi -1.05 point. Nilai ini termasuk lemah dan pada tahun 2003 titik terendah stabilitas politik Indonesia yaitu dengan angka -2.09 point.

Tahun 2019 stabilitas politik Indonesia naik di angka -0.48 point.

Pengkajian lebih dalam yang menyebabkan terjadinya fluktuatif angka pada stabilitas politik Indonesia karena dipicu oleh sistim demokrasi kita (democratic system trigger),sehingga terjadi instabilitas politik.

Samuel Huntington menyebut sistim demokrasi seperti di negara kita akan menyebabkan terjadinya “invites political pluralism (mengundang pluralisme politik

Paradoxnya adalah demokrasi tidak bisa muncul dalam masyarakat yang rawan konflik internal seperti kata Geovani Sartori “Democracy can not arise in society that are prone to internal conflict,”.

Target oposisi adalah menggunakan moralitas Nietzschen’s untuk dijadikan budak guna menciptakan ketidakstabilan politik (Nietzsche’s morality of the slaves to create political instability). Ciri-ciri oposisi ini adalah asal beda dengan pemerintah yang sah.

Cita-citanya ingin sekali menciptakan “Arab Spring” di bumi nusantara (Indonesian soil). Melalui social-media, mereka menebarkan hoax, hatespeech dan fitnah.

Giliran di grimy, para oposisi seperti ini selalu berdalih bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah kritik kepada pemerintah yang kebijakannya tidak berpihak kepada rakyat”.

Mereka menghapus/erase garis pembatas antara kritik dengan caci-maki, fitnah, hoax, cyberbully dan hujatan.

Selanjutnya oposisi seperti itu balik menggoreng dan memutar balik fakta seperi maling teriak maling dengan cara menyerang pemerintah persekusi aktivis.

Faktanya para perusuh ditangkap oleh aparat bukan karena background Aktifi dan beda pendapatnya dengan pemerintah tetapi karena menyebar hoax & provokasi yang tentunya melanggar pasal di Undang- Undang ITE.

Konsekuensi dari sistem multi partai (multi-party system) disuatu negara akan mengakibatkan ketidakstabilan negara terutama dalam hal kekerasan politik, pemogokan massal, unjuk rasa dan protes sesuai dengan kata Bingham Powell “Multi-party democracy experienced large-scale instability in terms of political violence, strikes, rallies & protests,”

Tugas utama Pemerintah adalah menjaga ketertiban umum dan gangguan stabilitas negara; (maintain order & stabilitas).

Mengamankan dan menangkap perusuh, teroris dan putik-putik (ginesium) provokator adalah kewajiban negara untuk melindungi rakyat, menjaga stabilitas negara dan ketertiban umum.

Rakyat mendukung penuh tindakan pemerintah karena rakyat sadar apa yang dilakukan pemerintah adalah untuk kepentingan rakyat karena itu pemerintah sebaiknya menyusup kealteri darah oposisi dan tanamkan agen ganda agar bisa membaca strategi mereka.

(Rakyat full support Infiltrate their blood stream. Tanam double agents).

Embrio instabilitas dihadapi dengan mengembalikan dimensi “stateness” dari nation state.

Indonesia sendiri adalah nation state yaitu suatu bentuk pemerintahan yang menggantikan model bentuk pemerintahan lama (sebelum merdeka) yaitu polis & empire (the old form of polity i.e. polis & empire). Max Weber mengartikan “stateness” itu sebagai suatu monopoli menggunakan kekerasan fisik yang sah (“A monopoly of legitimate use of physical force”), ini bisa dilakukan oleh pemerintah bila terjadi gangguan ketertiban umum dan instabilitas negara.

Dalam situasi yang lebih kritis (In more critical situation), Pemerintah bisa mengadopsi ” Constitutional Dictatorship (kediktatoran konstitusional)”. Contoh seperti Konstitusi Amerika memiliki klausul diktator (dictator clause) yang menyatakan “Presiden dapat menunda diadakan kongres/muktamar pada waktu yang dianggap tepat (the President may adjourn [congress] to such Time as he shall think proper)”.

President Amerika yang pernah menerapkah sistem ini adalah Abraham Lincoln, sang Presiden dengan menggunakan kekuasaan luar biasanya membuat kebijakan untuk menjaga persatuan negaranya (eng exercised extraordinary powers to preserve the Union).

Constitutional Dictatorship (Kediktatoran Konstitusional) adalah bentuk pemerintahan dalam keadaan darurat (a form of government during an emergency), namun demikian sistem pemerintah dan Penguasanya tidak bersifat absolute, konstitusi tetap membatasi authoritasnya.

Redaksi : AJ