Berita

Ada Indikasi Oknum Mafia Tanah di Buleleng, Aparat Terkait Jangan Diam

Buleleng, beritaterkini.co.id – Tanah redistribusi di Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng menjadi kasus sengketa karena ada pihak yang berusaha menguasai lahan korban secara ilegal.

Bahkan, tanah redistribusi seluas 3.925 Ha itu sebagian sudah dijual oleh oknum pihak lain tanpa sepengetahuan penggarap ataupun pihak dari I Gedot yang tercatat sebagai penerima tanah redistribusi tersebut pada tanggal 27 Desember tahun 1965 silam.

Dalam surat kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Buleleng dengan Nomor surat: 11882/NP.02.03.51.08/IX/2023 yang dikeluarkan di Singaraja pada tanggal 4 September 2023 jelas menyatakan bahwa memang benar objek dengan Nomor: 681 Persil 83c, Kelas III, seluas 1.020 Ha, dan Pipil Nomor: 682 Persil 83d, Kelas V, seluas 2.905 Ha, atas nama pipil persil I Gedot alias Ketut Gedot, tercatat dalam Daftar Nama Penerima Redistribusi di Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng Nomor Urut 7.

Informasi yang dihimpun, ada empat (4) orang pembeli tanah tersebut dan sudah melakukan transaksi pembayaran pada bulan September 2022 lalu, hingga saat ini pembeli yang dimaksud mengaku belum mendapatkan sertifikat tanah tersebut (SHM).

Praktik jual tanah bodong tanpa sertifikat itu diduga ada indikasi oknum mafia tanah di Buleleng yang harus diberantas oleh aparat dan pihak terkait secara tegas dan profesional.

Sebelumnya, pada tahun 1970 tanah yang dimaksud tersebut diserahkan oleh Ketut Gedot kepada Nengah Mangku Jati yang anaknya sekarang bernama Nengah Putra.

Dalam surat pernyataan pengakuan penyerahan tanah, anak-anak / ahli waris dari Ketut Gedot telah menyerahkan sepenuhnya lahan tanah tersebut kepada Nengah Putra untuk dikelola, dikuasai dan dimiliki.

Nengah Putra menuturkan, kala itu orang tuanya yakni Nengah Mangku Jati dan istri Nyoman Rerod membuat kesepakatan dengan tokoh masyarakat bernama Made Wirya untuk membagi hasil tanaman dilahan tersebut karena diberikan bibit dengan perhitungan hasil dibagi dua (2).

Setelah berjalan beberapa tahun, pembagian hasil tersebut dirubah lagi oleh Made Wirya menjadi 3:1, yakni tiga (3) bagian untuk Made Wirya selaku pemberi bibit dan satu (1) bagian untuk Nengah Mangku Jati yang menggarap lahan tersebut.

“Sebagai bentuk rasa komitmen orang tua kami sampai sekarang tetap memenuhi kesepakatan atau perjanjian itu”, jelas Nengah Putra.

Namun semakin hari semakin tercium dugaan oknum yang ingin menguasai lahan, bahkan ada sebagian sudah dijual tanahnya tanpa sepengetahuan Nengah Putra.

“Padahal kami tahu tanah tersebut bukan milik Made Wirya tokoh yang diajak pembagian hasil dalam kesepakatan orang tua kami, ini kan jelas tanah redistribusi atas nama I Gedot, dan keluarga kami yang menggarap berpuluh-puluh tahun lamanya, kenapa malah ada pihak lain yang bisa menjual tanah tersebut”, herannya.

Karena ada pihak lain yang terindikasi ingin menguasai lahan tersebut, Nengah Putra pun mengajukan permohonan sertifikasi kepada kantor pertanahan ATR/BPN Kabupaten Buleleng.

Tim dari ATR/BPN Kabupaten Buleleng saat ini sedang melakukan proses sinkronisasi data dan sudah melakukan penelitian fisik atau pengecekan lapang dan mengukur ulang batas-batas tanah yang dimaksud tersebut, kemarin, Jumat, 20 Oktober 2023 di Banjar Dinas Bukit Seni, Desa Sembiran, Tejakula.

“Hasilnya belum bisa keluar, masih proses analisis dulu, apakah sesuai surat yang diajukan dengan dilapangan, masih disinkronkan, nanti hasilnya dikeluarkan”, singkat Aziky seksi P2 ATR/BPN Kabupaten Buleleng.

Proses pengecekan lapang tersebut dilakukan sesuai prosedur yang berlaku, telah diketahui oleh Kepala Desa Sembiran serta Kepala Wilayah Banjar Dinas Bukit Seni dan Ketua BPD Desa Sembiran turut mendampingi tim ATR/BPN Kabupaten Buleleng di lapangan juga menghadirkan penyanding-penyanding yang bersangkutan terkait tanah tersebut, namun anggota BPD Banjar Dinas Bukit Seni yang sudah diperintah oleh Kades untuk ikut serta mendampingi tidak hadir.

Dikonfirmasi terpisah melalui sambungan telepon, salah satu pembeli yang enggan disebutkan namanya membenarkan bahwa memang belum mendapatkan sertifikat hak milik (SHM) atas tanah yang dibelinya itu.

“Kalau transaksi sudah, saya sudah bayar tanahnya itu dengan harga Rp. 17 Juta per Are, untuk sertifikatnya sih saat itu dibilang lagi tiga (3) bulan berikutnya diberikan, tapi sampai sekarang sudah setahun saya belum diberikan sertifikatnya”, ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Wilayah (Kawil) Banjar Dinas Bukit Seni, I Nyoman Kariasa mengaku tidak tahu bagaimana proses penjualan tanah tersebut, “kalau informasi tanah itu sudah dijual saya tau, tapi bagaimana proses penjualannya saya tidak tahu, karena itu bukan ranah dan kewenangan saya”, katanya saat ditemui di lokasi pengukuran ulang tanah tersebut. (Jabe)

Related Articles

3 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: