beritaterkini.co.id-DENPASAR |
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI diminta mengusut tuntas dan menangkap pelaku kasus APD di Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Bahkan, dalam aksi unjuk rasa, Rabu, 22 Mei 2024 lalu, Komunitas Mahasiswa Pemuda Anti Korupsi (KAMPAK) bersama Aktivis Bali meminta KPK RI, untuk menetapkan Gde Sumarjaya Linggih alias Demer sebagai tersangka dugaan korupsi proyek APD di Kemenkes tahun 2020-2022.
Koordinator Aksi KAMPAK Imam Martua Sahala menegaskan, bahwa pihaknya bersurat kepada Polda Metro Jaya dengan menurunkan sekitar 50 orang mahasiswa, untuk melakukan aksi unjuk rasa di Kantor KPK RI, agar hukum ditegakkan.
“Soal bersalah dan tidak bersalah itu khan kewenangan KPK, itu bukan wewenang siapa-siapa ,tapi tetap kita pertanyakan dua alat bukti itu yang sudah menjadi temuan BPK,” terangnya.
Pada saat adanya pelepasan bus KPK, pihaknya juga sempat diminta keterangan dari Polda Metro Jaya dan KPK RI terkait tujuan mengadakan unjuk rasa, dikarenakan kecintaan dan rasa sayang atas lembaga KPK RI, sehingga didorong KPK untuk menegakkan hukum yang anti korupsi.
“Karena cinta dan KPK tidak banci dalam menegakkan hukum, makanya saya berorasi dari Bali ke Gedung KPK RI langsung di Jakarta, karena yang bersangkutan dipanggil dua kali sebagai saksi, bagaimana hasil dari pengembangan kasus APD ini, yang jelas-jelas sudah merugikan negara hingga Rp 600 Milyar,” tegasnya.
Dari orasi tersebut, juga disampaikan Koordinator KAMPAK, bahwa hal ini menyangkut nyawa manusia di seluruh Indonesia, saat Covid 19 masih ada orang korupsi. Mirisnya lagi, hal itu dilakukan pejabat yang semestinya, mereka ikut mengontrol bantuan pemerintah, agar tersalurkan dengan benar.
“Jangan sampai KPK ada dugaan dari masyarakat main mata dengan saksi yang sudah diperiksa. Kita akan terus kawal sampai ada titik terang, bahwa KPK bekerja tegak lurus, dalam menjalankan tugas sesuai dengan prinsipnya, yaitu KPK tidak pandang bulu. Siapapun yang melakukan tindakan korupsi KPK akan memproses sesuai perundang undangan. Nah, dari sinilah, saya ingin mendorong KPK supaya tegak lurus dan tidak ada di muka bumi yang kebal hukum dan jangan coba-coba menyawer KPK,” tegasnya.
Dipaparkan pula, bahwa sesuai hasil kajiannya dinilai Gde Sumarjaya Linggih masih menjabat sebagai Komisaris PT EKI atau Energi Kita Indonesia, pada waktu itu dan sekarang juga masih duduk selaku Anggota Komisi VI DPR RI Dapil Bali dari Partai Golkar.
“Begitu dia lulus mendapat PT EKI ini menjadi PL dari Kemenkes, jadi dia ganti nama Komisaris Gde Sumarjaya Linggih menjadi anaknya yang sekarang sebagai Anggota DPRD Bali. Ini semuanya akal-akalan saja,” ungkapnya.
Hal tersebut diperkuat, saat wawancara Podcast #jegbalipodcast, disebutkan Gde Sumarjaya Linggih mengaku hanya sebentar sebagai Komisaris, karena bakal mencarikan investor Pabrik Baja, untuk PT Energi Kita Indonesia (EKI).
Namun, faktanya PT EKI pada 28 Maret 2020 ditunjuk langsung menyediakan 5 juta APD, yang tertuang dalam surat pesan APD No. KK.02.91/1/460/2020.
Kemudian, berdasarkan pengumuman hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT EKI di Media Indonesia, 2 Juli 2020 diumumkan Komisaris dan Direksi baru, dengan anaknya, Agung Bagus Pratiksa Linggih menjadi Komisaris.
“PT EKI mendapat pengadaan APD Covid-19 melalui Penunjukan Langsung (PL) dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), yang dipercaya menyediakan alat kesehatan, untuk pembelian 5 juta set APD senilai Rp 3,03 Trilyun,” jelasnya.
Atas hal tersebut, lanjutnya diduga Gde Sumarjaya Linggih memanfaatkan posisinya di DPR RI untuk melobi proyek tersebut.
“Bersama KAMPAK dan aktivis Bali, kita datang ke Jakarta, gedung KPK RI untuk menyuarakan tentang dugaan korupsi alat APD di Kementerian Kesehatan yang melibatkan Gde Sumarjaya Linggih dari Fraksi Partai Golkar ikut diseret dan dipanggil sebagai saksi lebih dari dua kali,” terangnya.
Berdasarkan temuan BPK, juga disebutkan PT EKI belum memiliki izin, pada saat ikut tender. Namun, begitu PT EKI mendapat PL atau Penunjukan Langsung, maka posisi Komisaris diganti oleh anaknya, Agung Bagus Pratiksa Linggih, yang sekarang terpilih menjadi anggota DPRD Provinsi Bali periode 2024-2029.
“Harapan saya, kalau memang Gde Sumarjaya Linggih selaku DPR RI tidak bersalah diumumkan tidak bersalah, tapi kalau memang terbukti kesalahan merugikan negara, tolong diproses hukum,” tegasnya.
Tak hanya itu, KPK RI juga diminta bisa lebih cepat mengungkap dan menyelesaikan kasus korupsi APD di Kemenkes. Mengingat, anggota DPR RI dari Partai Golkar tersebut sudah dua kali dipanggil KPK RI dan juga sudah ada temuan BPK, tapi hingga saat ini belum ada tindak lanjut terkait kasus tersebut.
Patut diketahui, bahwa
berdasarkan temuan pemeriksaan BPK dinyatakan adanya perubahan susunan struktur komisaris di PT EKI.
Sesuai hasil pemerikasaan BPK disebutkan PT EKI mendapat Penunjukan Langsung (PL) dari Kemenkes untuk menyediakan 5 juta APD dalam surat pesan APD No. KK.02.91/1/460/2020 tertanggal 28 Maret 2020.
Kemudian, PT EKI mengumumkan di Media Indonesia, dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) disebutkan posisi Komisaris ditempati Agung Bagus Pratiksa Linggih, di Jakarta, 2 Juli 2020.
“Jadi, jika dilihat dari tanggal perubahan susunan struktur di PT EKI tersebut, patut diduga Bapak Gde Sumarjaya Linggih masih sebagai Komisaris PT EKI, saat PT EKI mendapat Penunjukan Langsung (PL) dari Kemenkes, sebelum digantikan oleh anaknya, Agung Bagus Pratiksa Linggih,” urainya.
Pada intinya, pihaknya menginginkan, agar
penegakan hukum dilakukan secara transparan di mata masyarakat yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia.
“Saya tidak ada kepentingan pribadi, apalagi kepentingan politik. Saya masukan disini sebagai wakil masyarakat yang berhak bekerjasama sebagai lembaga kontrol, mestinya disini harus ada kejelasan. Jangan ada abu-abu. Jika yang bersangkutan tidak bersalah, maka diumumkan KPK RI, bahwa dia tidak terbukti bersalah, maksudnya agar namanya tidak tersandera hukum. Tolong dijelaskan biar jelas,” tandasnya.
Ditegaskan lagi, bahwa
seorang anggota DPR RI tidak boleh mengikuti tender. Untuk itu, Pemerintah dalam hal ini KPK yang berhak menentukan sikap, agar rakyat bisa puas dengan kinerja KPK, yang faktanya sudah terlihat dengan adanya temuan BPK, sehingga KPK dinilai sudah bisa menaikkan status saksi menjadi tersangka.
“Ada temuan BPK harus diproses. Kami ingin mengawal ini, supaya nanti benar-benar hukum ini ditegakkan. Jangan sampai nanti tumpulnya keatas, tajamnya kebawah, karena kecintaan akan lembaga KPK RI, yang sengaja datang dari Bali di akhir bulan Mei 2024 hanya untuk menyuarakan agar hukum ini ditegakkan. KPK harus berani mengumumkan hasil pemeriksaan,” pungkasnya.(red)