Tarif Denda Tambang Berbeda Tiap Komoditas, ESDM Ungkap Alasan Resminya

Maman S

Beritaterkini – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali menjelaskan alasan di balik perbedaan tarif denda administratif untuk kegiatan pertambangan yang dilakukan di kawasan hutan. Kebijakan ini menjadi sorotan karena nilai denda antar-komoditas, seperti nikel, bauksit, timah, hingga batu bara, ditetapkan dengan nominal yang tidak sama.

Penetapan tarif denda ini bukan tanpa dasar. Dalam penjelasan terbaru, ESDM menegaskan bahwa setiap komoditas memiliki potensi pendapatan dan struktur keuntungan yang berbeda. Alhasil, besaran denda pun disesuaikan dengan karakteristik ekonominya.

Kebijakan ini dituangkan lewat aturan resmi yang telah ditandatangani Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dan kini berlaku secara nasional. Dalam artikel ini, kita akan mengulas fakta, konteks kebijakan, hingga daftar lengkap besaran denda untuk tiap komoditas tambang.

Alasan Pemerintah Membedakan Tarif Denda Tiap Komoditas

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM, Tri Winarno, menjelaskan bahwa perbedaan nilai denda ditetapkan berdasarkan potensi ekonomi masing-masing komoditas.

Menurut Tri, karakter usaha, tingkat keuntungan, serta pendapatan bersih (net profit) antar-komoditas tambang sangat bervariasi, sehingga penerapannya tidak bisa disamaratakan.

“Gain atau laba bersih dari setiap komoditas berbeda-beda. Itu yang menjadi dasar penetapan tarif dendanya,” ujar Tri di Kantor Kementerian ESDM, Kamis (11/12/2025).

Penjelasan ini juga sejalan dengan prinsip regulasi bahwa denda administratif harus proporsional terhadap kapasitas ekonomi kegiatan usaha yang melanggar.

Landasan Aturan: Permen ESDM Nomor 391.K/MB.01.MEM.B/2025

Perbedaan tarif ini resmi tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 391.K/MB.01.MEM.B/2025 tentang Tarif Denda Administratif Pelanggaran Kegiatan Usaha Pertambangan di Kawasan Hutan.

Regulasi ini mengatur denda untuk empat komoditas:

  • Nikel

  • Bauksit

  • Timah

  • Batu bara

Peraturan tersebut ditandatangani oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada 1 Desember 2025, dan langsung berlaku sejak tanggal penetapannya.

Hasil Kesepakatan Satgas Penertiban Kawasan Hutan

Penetapan denda administratif ini didasarkan pada kesepakatan yang dihasilkan dalam Rapat Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan.
Dokumen itu merujuk pada Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus selaku Ketua Pelaksana Satgas PKH Nomor B-2992/Set-PKH/11/2025, tertanggal 24 November 2025.

Regulasi ini menegaskan bahwa kewenangan penagihan denda berada pada Satgas PKH, dan seluruh penerimaan denda akan dimasukkan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor ESDM.

Cara Penegakan dan Penagihan Denda

Dalam beleid tersebut, dijelaskan bahwa penerapan denda administratif diberlakukan khusus untuk pelanggaran yang ditemukan oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan.

Artinya, ketika sebuah perusahaan tambang terbukti melakukan aktivitas di kawasan hutan tanpa sesuai ketentuan, Satgas akan menentukan besaran denda berdasarkan peraturan terbaru ini.

Penagihan denda tidak hanya bersifat administratif tetapi juga menjadi bentuk penertiban tata kelola minerba nasional.

Menurut catatan ESDM, mekanisme ini penting untuk menjaga tata kelola lingkungan serta memastikan perusahaan patuh pada aturan kehutanan dan pertambangan.

Daftar Lengkap Tarif Denda Tambang di Kawasan Hutan

Berikut daftar nilai denda administratif per hektare yang ditetapkan pemerintah:

1. Tambang Nikel — Rp 6,5 Miliar per Hektare

Nikel mendapat tarif tertinggi karena nilai ekonominya besar, baik di pasar domestik maupun global. Industri smelter serta rantai produksi baterai membuat komoditas ini memiliki profit tinggi.

2. Tambang Bauksit — Rp 1,7 Miliar per Hektare

Bauksit memiliki nilai komersial besar terutama untuk industri aluminium, namun margin keuntungan dianggap tidak setinggi nikel.

3. Tambang Timah — Rp 1,2 Miliar per Hektare

Timah merupakan komoditas strategis, tetapi tingkat profitnya tidak seagresif nikel dan bauksit.

4. Tambang Batu Bara — Rp 354 Juta per Hektare

Batu bara memiliki nilai denda paling rendah. Pemerintah menjelaskan bahwa margin keuntungan batu bara secara rata-rata lebih kecil dibanding komoditas lain yang masuk dalam aturan ini.

Sejumlah pakar kebijakan publik menilai perbedaan tarif ini perlu agar pengawasan tambang lebih proporsional. Salah satu prinsip yang umum dikutip adalah polluter pays principle, di mana pelaku usaha yang merusak lingkungan harus menanggung biaya sesuai daya dobrak kegiatan ekonominya.

Analisis & Dampak Kebijakan

Penetapan tarif denda yang berbeda antar-komoditas ini dinilai dapat memberikan beberapa dampak positif:

1. Mendorong kepatuhan perusahaan tambang

Dengan denda besar pada komoditas bernilai tinggi seperti nikel, pemerintah berharap kepatuhan semakin meningkat.

2. Memperkuat penegakan hukum di kawasan hutan

Denda yang terukur berdasarkan potensi ekonomi akan memperjelas standar penindakan dan menghindari sengketa.

3. Meningkatkan PNBP sektor ESDM

Sebagai salah satu kontributor penerimaan negara, PNBP dari denda tambang akan menambah ruang fiskal negara.

Menurut pengamat kebijakan minerba, pendekatan tarif diferensial ini sudah diterapkan di banyak negara dan dinilai lebih adil dibanding satu tarif untuk semua komoditas.

Kesimpulan

Perbedaan tarif denda tambang berdasarkan komoditas merupakan kebijakan yang telah melalui kajian lintas-lembaga dan disesuaikan dengan potensi keuntungan tiap sektor. Dengan landasan hukum yang jelas dan mekanisme penegakan yang terstruktur melalui Satgas PKH, pemerintah berharap penertiban tambang di kawasan hutan dapat berjalan lebih efektif dan akuntabel.

Also Read