Beritaterkini – Amerika Serikat kembali melancarkan operasi militer di wilayah Samudra Pasifik bagian timur. Kali ini, militer AS menyerang tiga kapal yang disebut terlibat dalam jaringan penyelundupan narkoba internasional. Serangan udara tersebut dilaporkan menewaskan sedikitnya delapan orang di lokasi kejadian.
Aksi militer ini menjadi bagian dari kebijakan keras pemerintahan Presiden Donald Trump yang mengintensifkan penggunaan kekuatan militer untuk memutus jalur perdagangan narkotika menuju Amerika Serikat. Langkah tersebut memicu sorotan global, terutama terkait dasar hukum dan dampaknya terhadap hukum humaniter internasional.
Di tengah klaim keberhasilan operasi, muncul pula kritik tajam dari komunitas internasional, anggota parlemen AS, hingga pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menilai pendekatan ini berisiko melanggar prinsip penegakan hukum dan hak asasi manusia.
Serangan Udara di Pasifik Timur
Komando Selatan Amerika Serikat (U.S. Southern Command) mengonfirmasi bahwa serangan dilakukan terhadap tiga kapal terpisah yang beroperasi di jalur laut Pasifik Timur. Wilayah ini dikenal sebagai salah satu rute utama penyelundupan narkoba dari Amerika Latin menuju Amerika Utara.
Dalam pernyataan resminya, U.S. Southern Command menyebutkan rincian korban tewas di masing-masing kapal. Tiga orang dilaporkan tewas di kapal pertama, dua orang di kapal kedua, dan tiga orang lainnya di kapal ketiga. Seluruh kapal hancur akibat serangan udara presisi yang dilakukan dari platform militer AS.
Militer AS menegaskan bahwa operasi ini merupakan bagian dari misi keamanan nasional untuk melindungi warga Amerika dari ancaman narkotika lintas negara, khususnya jenis opioid sintetis seperti fentanyl.
Video Serangan Dirilis ke Publik
Sebagai bagian dari transparansi versi mereka, militer AS merilis video berdurasi 47 detik yang diunggah melalui media sosial X. Rekaman tersebut memperlihatkan bidikan udara terhadap kapal-kapal yang tengah melaju di tengah laut sebelum akhirnya dihantam serangan dan terbakar hebat.
Dalam video itu, dua kapal tampak bergerak dengan kecepatan tinggi, sementara satu kapal lainnya terlihat dalam kondisi diam saat diserang. Ledakan besar dan kobaran api terlihat jelas, menegaskan skala kekuatan militer yang digunakan dalam operasi tersebut.
Namun, rilis video ini justru memicu perdebatan baru. Sejumlah pengamat menilai visual tersebut belum cukup membuktikan bahwa kapal-kapal itu memang membawa narkoba atau dioperasikan langsung oleh kartel.
Klaim Keterlibatan Kartel Narkoba
U.S. Southern Command mengklaim bahwa ketiga kapal tersebut dioperasikan oleh salah satu dari delapan kartel narkoba yang telah ditetapkan Presiden Trump sebagai organisasi teroris asing. Penetapan ini menjadi dasar utama pemerintah AS dalam membenarkan penggunaan kekuatan militer.
Meski demikian, hingga kini militer AS belum mempublikasikan bukti rinci yang dapat diverifikasi secara independen untuk mendukung klaim tersebut. Informasi yang disampaikan masih bersumber pada laporan intelijen internal.
Menurut militer AS, data intelijen menunjukkan kapal-kapal tersebut melintasi jalur penyelundupan narkoba yang sudah lama dikenal dan terlibat langsung dalam aktivitas perdagangan narkotika. Operasi ini, kata mereka, dilakukan atas perintah langsung Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth.
Bagian dari Operasi Militer yang Lebih Luas
Serangan terbaru ini bukanlah insiden tunggal. Militer AS mencatat bahwa operasi pada hari Senin tersebut merupakan serangan ke-25 sejak 2 September lalu. Targetnya adalah kapal-kapal yang diduga terlibat dalam penyelundupan narkoba di wilayah Pasifik Timur dan Laut Karibia.
Secara keseluruhan, sedikitnya 95 orang dilaporkan tewas dalam rangkaian operasi militer ini. Angka tersebut menjadi perhatian serius bagi kelompok hak asasi manusia dan komunitas internasional yang menilai eskalasi kekerasan semakin mengkhawatirkan.
Kritik dari Dalam dan Luar Negeri
Kebijakan AS menyerang kapal yang dianggap mengangkut narkoba menuai kecaman luas. Di dalam negeri, sejumlah anggota Partai Demokrat dan pengamat hukum mempertanyakan dasar hukum penggunaan militer untuk operasi yang sejatinya mirip dengan penegakan hukum sipil.
Pakar PBB bahkan menyebut serangan semacam ini berpotensi dikategorikan sebagai pembunuhan di luar proses hukum. Mereka menekankan bahwa dugaan keterlibatan dalam kejahatan narkotika seharusnya ditangani melalui mekanisme hukum internasional, bukan serangan militer sepihak.
Presiden Kolombia, Gustavo Petro, juga secara terbuka menuding Presiden Trump bertanggung jawab atas kematian seorang nelayan Kolombia dalam salah satu serangan sebelumnya. Tuduhan ini memperkeruh hubungan diplomatik dan menambah tekanan internasional terhadap Washington.
Tekanan Politik di Amerika Serikat
Di Amerika Serikat sendiri, tekanan politik terus menguat. Anggota parlemen dari DPR dan Senat, baik dari Partai Demokrat maupun Republik, tengah melakukan penyelidikan terkait legalitas serangan-serangan tersebut.
Salah satu sorotan utama adalah insiden “double tap strike” pada 2 September, di mana serangan lanjutan dilakukan setelah serangan awal. Praktik ini diduga melanggar hukum AS serta hukum humaniter internasional karena berisiko menyerang korban yang selamat atau pihak penolong.
Sejumlah pakar hukum menilai bahwa tanpa deklarasi perang resmi atau mandat internasional yang jelas, penggunaan kekuatan militer di luar wilayah kedaulatan AS berada di area abu-abu hukum.
Pembelaan Gedung Putih
Meski kritik terus berdatangan, pemerintahan Trump tetap bersikukuh membela kebijakan tersebut. Gedung Putih menyatakan bahwa serangan militer dilakukan secara sah berdasarkan hukum nasional dan internasional.
Menurut pernyataan resmi pemerintah, Amerika Serikat saat ini berada dalam kondisi “perang” melawan kartel narkoba yang telah ditetapkan sebagai organisasi teroris. Status ini, klaim mereka, memberikan dasar hukum untuk menggunakan kekuatan militer demi melindungi keamanan nasional.
Pemerintah juga menegaskan bahwa setiap operasi dilakukan berdasarkan informasi intelijen yang matang dan bertujuan meminimalkan risiko terhadap warga sipil.
Konteks Regional dan Kebijakan Tambahan
Operasi militer ini berlangsung di tengah peningkatan kehadiran pasukan AS di kawasan dekat Venezuela. Presiden Trump sebelumnya menuding—tanpa bukti yang dipublikasikan—bahwa Venezuela memfasilitasi masuknya migran ilegal dan narkoba ke Amerika Serikat.
Pada hari yang sama dengan serangan terbaru, Presiden Trump juga menandatangani perintah eksekutif yang menetapkan fentanyl sebagai senjata pemusnah massal. Kebijakan ini semakin menegaskan pendekatan keras pemerintahannya dalam perang melawan narkoba, sekaligus memperluas definisi ancaman keamanan nasional.
Langkah-langkah ini menandai babak baru dalam strategi AS melawan narkotika, namun juga membuka perdebatan panjang soal batas penggunaan kekuatan militer, supremasi hukum, dan dampaknya terhadap stabilitas regional.











