Beritaterkini – Pemerintah resmi menata ulang kebijakan bea keluar emas serta menegaskan kembali rencana penerapan bea keluar batu bara sebagai upaya memperkuat kesehatan fiskal negara. Langkah ini dinilai penting mengingat melonjaknya restitusi PPN dari industri ekstraktif yang selama beberapa tahun terakhir membebani APBN.
Dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan bahwa desain kebijakan baru ini bukan sekadar penyesuaian tarif, tetapi langkah strategis untuk mengembalikan struktur fiskal ke posisi yang lebih berimbang, sekaligus mendorong hilirisasi dan menjaga ketahanan ekonomi jangka panjang.
Artikel ini mengulas detail perubahan kebijakan, tarif baru, alasan penerapan, hingga dampaknya bagi industri serta fiskal nasional.
Mengapa Bea Keluar Perlu Diatur Ulang
Menurut Menkeu, kebijakan bea keluar—khususnya untuk batu bara—didorong oleh tingginya restitusi PPN yang diterima industri sejak komoditas tersebut berubah status menjadi barang kena pajak (BKP) akibat UU Cipta Kerja 2020.
Restitusi PPN Membengkak hingga Rp25 Triliun
Purbaya menyebutkan, restitusi PPN ke industri batu bara mencapai sekitar Rp25 triliun per tahun. Jumlah ini dinilai tidak sebanding dengan kontribusi fiskal bersih yang masuk ke negara.
Ia menegaskan bahwa situasi tersebut justru menurunkan net penerimaan negara dari salah satu sektor ekspor terbesar Indonesia.
“Desain bea keluar ini pada dasarnya hanya mengembalikan struktur fiskal seperti sebelum UU Cipta Kerja 2020. Kebijakan ini untuk menutup loss akibat perubahan status tersebut,” ujar Purbaya dalam rapat kerja di DPR, Jakarta, Senin (8/12/2025).
Kementerian Keuangan menilai, tanpa koreksi kebijakan, penerimaan dari sektor batu bara berpotensi negatif, terutama saat harga global berfluktuasi.
Bea Keluar Batu Bara Tetap Berlaku di 2026
Meski harga batu bara acuan (HBA) tengah menurun, pemerintah memastikan bahwa kebijakan bea keluar tetap akan diberlakukan mulai 2026.
Tarif 1–5 Persen Disesuaikan Kondisi Pasar
Pemerintah menargetkan tarif bea keluar batu bara berada di rentang 1–5%, bergantung pada dinamika pasar global dan kondisi fiskal nasional.
Kebijakan ini diklaim tidak akan mengganggu daya saing ekspor. Industri batu bara sebelumnya tetap kompetitif di pasar internasional meskipun berstatus non-BKP sebelum 2020.
Mendorong Hilirisasi & Dekarbonisasi
Instrumen bea keluar juga disiapkan sebagai alat:
-
mempercepat hilirisasi mineral dan energi,
-
mendorong program dekarbonisasi,
-
memastikan keselarasan dengan transformasi ekonomi nasional yang lebih ramah lingkungan.
Kemenkeu, Kementerian ESDM, dan kementerian teknis lain disebut sedang memfinalisasi mekanisme implementasinya.
Fokus Baru Pemerintah: Bea Keluar Emas Naik hingga 15 Persen
Selain batu bara, pemerintah juga menata ulang struktur bea keluar emas. Kebijakan baru ini digulirkan untuk:
-
memperkuat hilirisasi emas di dalam negeri,
-
mendukung pembentukan bullion bank,
-
meningkatkan pengawasan transaksi,
-
sekaligus mengoptimalkan penerimaan negara.
Tarif Mengacu pada Harga Mineral Acuan (HMA)
Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal, Febrio Kacaribu, menjelaskan bahwa tarif bea keluar emas disusun berdasarkan HMA emas yang dibagi menjadi dua kelompok besar.
1. HMA USD2.800 – < USD3.200 per troy ounce
-
Minted bars: 7,5%
-
Ingot & cast bar: 10%
-
Dore & granule (produk hulu): 12,5%
2. HMA USD3.200 per troy ounce atau lebih
Tarif naik ke level tertinggi untuk mengamankan penerimaan negara:
-
Minted bars: 10%
-
Ingot & cast bar: 12,5%
-
Dore & granule: 15% (tertinggi, karena produk hulu)
Febrio memastikan bahwa formula tarif tersebut telah menjadi kesepakatan antar-kementerian, termasuk Kementerian ESDM, dan sudah selaras dengan arah industrialisasi nasional.
“Struktur tarif ini sejalan dengan strategi hilirisasi mineral dan kebutuhan menjaga keseimbangan fiskal,” ujarnya.
Analisis: Dampak Kebijakan bagi Industri & Fiskal Nasional
1. Menyetop Kebocoran Fiskal
Penerapan bea keluar diharapkan menahan kenaikan restitusi PPN, terutama pada sektor batu bara yang selama ini menyedot anggaran besar.
2. Mendorong Nilai Tambah di Dalam Negeri
Kebijakan tarif bertingkat pada emas membuat produk hulu dikenai tarif lebih tinggi ketimbang produk hilir, sehingga perusahaan terdorong untuk melakukan pemurnian dan pengolahan di Indonesia.
3. Memperkuat Transparansi Transaksi
Dengan adanya tarif dinamis berbasis HMA, pemerintah dapat memantau pergerakan nilai emas global dan menekan praktik underreporting.
4. Menjamin Daya Saing
Pemerintah menilai kebijakan ini tidak mengancam daya saing, terutama karena negara pesaing juga menerapkan instrumen fiskal yang ketat pada ekspor komoditas.
Penutup
Reformasi bea keluar, baik pada batu bara maupun emas, menjadi bagian dari upaya pemerintah menata ulang struktur fiskal agar lebih sehat, adil, dan berkelanjutan. Dengan menghubungkan kebijakan fiskal dan agenda hilirisasi, pemerintah berharap sektor mineral dan energi dapat memberi kontribusi lebih optimal bagi pembangunan nasional di tengah ketidakpastian ekonomi global.











