Beritaterkini – Indonesia berada di wilayah yang rawan bencana alam, mulai dari gempa bumi, tsunami, hingga cuaca ekstrem. Kondisi geografis ini membuat sistem pemantauan dan peringatan dini menjadi kebutuhan mutlak, bukan sekadar pelengkap. Di sinilah peran Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) jadi sangat krusial.
Untuk menjawab tantangan tersebut, BMKG memasang lebih dari 10 ribu detektor yang berfungsi memantau kondisi cuaca, aktivitas gempa bumi, hingga potensi tsunami di seluruh Indonesia. Ribuan alat ini bekerja nonstop, menjadi “mata dan telinga” negara dalam mendeteksi dinamika alam yang bisa berdampak langsung ke masyarakat.
Langkah ini sekaligus menegaskan komitmen BMKG dalam memperkuat sistem peringatan dini nasional, terutama di tengah meningkatnya intensitas bencana hidrometeorologi dan aktivitas seismik sepanjang tahun 2025.
Fakta Utama: BMKG Perkuat Pemantauan dengan Ribuan Detektor
BMKG saat ini mengoperasikan lebih dari 10 ribu alat pemantau yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Alat-alat tersebut digunakan untuk memantau cuaca, gempa bumi, hingga potensi tsunami secara real-time.
Pemantauan dilakukan melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) BMKG yang tersebar di 191 daerah. Setiap UPT terhubung dengan stasiun pemantauan, sehingga data yang dikumpulkan bisa dianalisis dengan cepat dan akurat.
Kepala BMKG, Teuku Faisal Fathani, menyampaikan bahwa keberadaan ribuan detektor ini menjadi tulang punggung sistem mitigasi bencana nasional.
“Ini terpantau di UPT-UPT BMKG, stasiun-stasiun yang tersebar di 191 daerah di Indonesia dengan 10 ribu lebih alat yang memantau kondisi cuaca serta gempa dan tsunami,” ujar Faisal dalam Sidang Kabinet bersama Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/12/2025).
Pernyataan ini menegaskan bahwa data kebencanaan yang dirilis BMKG bukan hasil perkiraan semata, melainkan berbasis pengamatan instrumen di lapangan.
Sepanjang 2025, Lebih dari 40 Ribu Gempa Terjadi di Indonesia
Data BMKG menunjukkan tingginya aktivitas seismik di Indonesia sepanjang tahun 2025. Berdasarkan hasil pemantauan dari ribuan detektor tersebut, tercatat lebih dari 40 ribu kejadian gempa bumi.
Dari jumlah itu, 917 gempa dirasakan oleh masyarakat, dan 24 gempa di antaranya bersifat merusak, menyebabkan kerusakan bangunan serta mengganggu aktivitas warga di sejumlah daerah.
Angka ini kembali menegaskan posisi Indonesia sebagai salah satu negara dengan aktivitas tektonik tertinggi di dunia, karena berada di pertemuan beberapa lempeng besar seperti Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik.
BMKG menilai, tanpa sistem pemantauan yang kuat dan tersebar luas, risiko keterlambatan informasi bisa berdampak fatal, terutama di wilayah padat penduduk dan daerah pesisir.
Lightning Detector: Pantau Petir Secara Spesifik
Selain gempa dan tsunami, BMKG juga memberi perhatian serius pada fenomena cuaca ekstrem, termasuk petir. Saat ini, BMKG telah memasang lightning detector atau alat pemantau petir di 38 UPT.
Alat ini mampu mendeteksi:
-
Lokasi terjadinya petir
-
Waktu kejadian
-
Intensitas sambaran petir
Menurut Faisal, data dari lightning detector sangat penting, terutama untuk sektor penerbangan, pelayaran, kelistrikan, hingga aktivitas luar ruang yang berisiko tinggi.
“Kita bisa memprediksi petir akan terjadi di mana dan kapan akibat dari kondisi cuaca di sekitarnya,” jelasnya.
Dengan teknologi ini, peringatan dini terkait petir bisa disampaikan lebih cepat dan spesifik, sehingga risiko kecelakaan dapat ditekan.
BMKG Kembangkan Prakiraan Cuaca Berbasis Dampak (IBF)
Tak berhenti pada pemantauan, BMKG juga terus mengembangkan metode penyampaian informasi yang lebih relevan bagi masyarakat. Salah satunya melalui Impact-Based Forecast (IBF) atau prakiraan cuaca berbasis dampak.
Berbeda dengan prakiraan cuaca konvensional yang hanya menyebutkan hujan, angin, atau suhu, sistem IBF menekankan apa dampak yang mungkin terjadi akibat kondisi cuaca tersebut.
Apa Itu Impact-Based Forecast?
Mengacu pada penjelasan resmi BMKG, IBF menyajikan:
-
Prakiraan cuaca
-
Potensi dampak yang ditimbulkan
-
Rekomendasi respons atau langkah antisipasi
Informasi ini ditujukan tidak hanya untuk masyarakat umum, tetapi juga untuk pemangku kepentingan seperti pemerintah daerah, sektor transportasi, pertanian, dan kebencanaan.
Contohnya, bukan sekadar “hujan lebat”, tetapi:
-
Risiko banjir di wilayah tertentu
-
Potensi longsor di daerah rawan
-
Gangguan transportasi atau aktivitas ekonomi
Komponen Penting dalam Sistem IBF
BMKG menjelaskan bahwa sistem IBF dibangun dari tiga komponen utama, yaitu:
1. Hazard (Bahaya)
Fenomena alam yang berpotensi menimbulkan dampak, seperti hujan ekstrem, angin kencang, atau gelombang tinggi.
2. Exposure (Keterpaparan)
Sejauh mana manusia, infrastruktur, dan aktivitas ekonomi berada di wilayah terdampak.
3. Vulnerability (Kerentanan)
Tingkat kerentanan masyarakat dan lingkungan terhadap bahaya tersebut.
Irisan dari ketiga komponen inilah yang disebut sebagai risk (risiko), dan menjadi dasar penyusunan rekomendasi dalam IBF.
Manfaat IBF untuk Pengurangan Risiko Bencana
Prakiraan cuaca berbasis dampak dinilai lebih aplikatif dan mudah dipahami. Informasi ini membantu berbagai sektor dalam:
-
Menyusun perencanaan kegiatan
-
Mengatur jadwal operasional
-
Mengambil keputusan cepat saat kondisi darurat
BMKG menilai IBF sangat efektif untuk mengurangi risiko bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, dan cuaca ekstrem yang kian sering terjadi akibat perubahan iklim.
Komitmen Global: Mengacu pada Panduan Internasional
Pengembangan sistem IBF bukan langkah sepihak. BMKG menyebut sistem ini merupakan bentuk komitmen Indonesia dalam mengimplementasikan panduan internasional, antara lain:
-
World Meteorological Organization (WMO)
-
UN Hyogo Framework for Action 2005–2015
-
UN Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015–2030
Dengan mengadopsi standar global, BMKG berharap sistem peringatan dini Indonesia semakin sejajar dengan negara-negara maju dalam hal mitigasi bencana.
Tantangan ke Depan: Data Banyak, Respons Harus Cepat
Meski infrastruktur pemantauan terus diperkuat, tantangan ke depan bukan hanya soal alat, tetapi juga:
-
Kecepatan penyebaran informasi
-
Pemahaman masyarakat terhadap peringatan dini
-
Koordinasi antarinstansi
BMKG menekankan bahwa data yang akurat harus diiringi dengan respons cepat dari seluruh pihak agar manfaatnya benar-benar dirasakan masyarakat.











