Beritaterkini – Pinjaman online ilegal kembali memakan korban. Bukan hanya masyarakat dengan pendidikan rendah, tapi juga mereka yang bergelar sarjana, punya pekerjaan tetap, bahkan dianggap mapan. Fenomena ini terus berulang dan sering kali berujung tragis, mulai dari tekanan mental berat hingga kehilangan nyawa.
Sayangnya, respons publik kerap keliru. Korban pinjol ilegal masih sering dicap ceroboh, kurang cerdas, atau dianggap “pantas kena”. Padahal, anggapan tersebut justru menutup mata dari persoalan utama yang jauh lebih kompleks: kombinasi tekanan psikologis, literasi keuangan yang timpang, dan praktik predator digital yang terstruktur.
Fakta di lapangan menunjukkan satu hal penting: bukan soal bodoh atau pintar. Pinjol ilegal dirancang untuk menjebak siapa pun yang sedang berada di titik paling rapuh dalam hidupnya. Lalu, bagaimana sebenarnya mekanisme jebakan ini bekerja?
Jerat Pinjol Ilegal Tak Memandang Latar Belakang
Kasus korban pinjol ilegal bukan cerita baru. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat ribuan pengaduan terkait pinjaman online ilegal sepanjang 2023 hingga 2024. Korbannya datang dari beragam latar belakang, mulai dari buruh harian, pelaku UMKM, mahasiswa, hingga profesional kantoran.
OJK dalam beberapa rilis resminya menegaskan bahwa pinjol ilegal menyasar masyarakat luas tanpa diskriminasi. Mereka memanfaatkan celah kebutuhan mendesak dan lemahnya pengawasan digital, terutama di platform aplikasi dan media sosial.
Artinya, gelar akademik atau status pekerjaan sama sekali bukan benteng mutlak. Ketika tekanan datang bersamaan dengan tawaran “uang cepat”, siapa pun bisa tergelincir.
Memahami Psikologi di Balik Keputusan Meminjam
Pinjol ilegal sejatinya tidak sekadar menawarkan uang. Mereka menjual ilusi jalan keluar instan bagi orang yang sedang panik dan terdesak.
Dalam kondisi normal, seseorang bisa berpikir rasional: membandingkan bunga, membaca syarat, dan menilai risiko. Namun saat stres finansial akut muncul, mekanisme itu berubah total.
Otak di Bawah Tekanan Tidak Bekerja Normal
Berbagai riset neurosains menunjukkan bahwa stres berat dapat menurunkan fungsi kognitif. Aktivitas prefrontal cortex, bagian otak yang bertanggung jawab atas logika dan pertimbangan jangka panjang, melemah drastis saat seseorang merasa terancam.
Di saat bersamaan, sistem limbik—yang berfokus pada respons cepat dan insting bertahan hidup—mengambil alih. Inilah momen emas yang dimanfaatkan pinjol ilegal.
Tiga Jebakan Psikologis yang Tak Pandang Gelar
1. Mode Survival Saat Kondisi Darurat
Bayangkan seseorang yang harus membayar biaya rumah sakit hari itu juga, atau menghadapi tenggat cicilan dengan denda besar jika terlambat. Dalam kondisi seperti ini, kecepatan menjadi segalanya.
Pinjol ilegal paham betul situasi tersebut. Mereka menawarkan pencairan dana dalam hitungan menit, tanpa proses panjang, tanpa verifikasi ketat. Bagi otak yang sedang panik, ini terasa seperti penyelamat.
Tak ada waktu untuk menghitung bunga harian 1–2 persen yang jika diakumulasi bisa mencapai ratusan persen per tahun. Akal sehat kalah oleh insting bertahan hidup.
2. Tekanan Sosial dan Ilusi Kesuksesan
Tidak semua korban meminjam karena kebutuhan darurat nyata. Banyak pula yang terjebak karena kebutuhan yang terasa darurat secara sosial.
Tekanan untuk tampil sukses—punya gawai terbaru, liburan demi konten media sosial, atau gaya hidup setara lingkungan kerja—mendorong seseorang berutang di luar kemampuan finansialnya. Fenomena ini dikenal sebagai lifestyle inflation.
Ketika pengeluaran naik lebih cepat dari pendapatan, pinjol ilegal menjadi solusi cepat yang tampak mudah. Satu pinjaman menutup gengsi, pinjaman lain menutup pinjaman sebelumnya. Siklus ini nyaris tak terasa hingga sudah terlambat.
3. Meremehkan Efek Bola Salju Utang
Sebagian besar korban memulai dengan keyakinan sederhana: “Pinjam sedikit saja, nanti gajian langsung lunas.” Masalahnya, pinjol ilegal tidak pernah berhenti di satu transaksi.
Begitu aplikasi ilegal mengakses data kontak, informasi itu bisa berpindah ke banyak pihak. Keterlambatan sehari saja bisa memicu teror, denda berlipat, dan ancaman penyebaran data pribadi.
Untuk menghentikan tekanan, korban kembali meminjam di aplikasi lain. Utang kecil pun berubah menjadi gunung masalah—efek bola salju yang sulit dihentikan.
Perbedaan Pinjol Legal dan Pinjol Ilegal yang Wajib Dipahami
Sebelum mengajukan pinjaman online, masyarakat perlu memahami perbedaan mendasar berikut:
| Aspek | Pinjol Legal (Terdaftar OJK) | Pinjol Ilegal |
|---|---|---|
| Status Izin | Terdaftar & diawasi OJK | Tidak berizin |
| Bunga | Maksimal sesuai ketentuan AFPI | Bisa 1–2% per hari atau lebih |
| Akses Data | Terbatas (CAMILAN) | Menyedot seluruh data |
| Penagihan | Beretika & sesuai aturan | Intimidatif & teror |
| Transparansi | Biaya jelas di awal | Biaya tersembunyi |
| Perlindungan | Ada jalur pengaduan | Tidak ada |
OJK secara konsisten mengingatkan masyarakat untuk selalu mengecek legalitas pinjol melalui situs resmi atau kanal pengaduan mereka.
Langkah Preventif dan Kuratif yang Bisa Dilakukan
Sebelum Terjerat (Preventif)
-
Cek status pinjol di situs resmi OJK
-
Baca syarat, bunga, dan denda secara menyeluruh
-
Hindari memberi akses data berlebihan
-
Bangun dana darurat minimal 3–6 bulan pengeluaran
-
Pertimbangkan alternatif seperti koperasi, pegadaian, atau keluarga
Jika Sudah Terjerat (Kuratif)
-
Hentikan kebiasaan gali lubang tutup lubang
-
Simpan bukti teror dan intimidasi
-
Laporkan ke OJK melalui 157 atau email resmi
-
Hubungi Satgas Waspada Investasi
-
Konsultasi ke LBH untuk pendampingan hukum
OJK menegaskan, pinjol ilegal tidak memiliki dasar hukum penagihan yang sah.
Kesimpulan: Ini Soal Sistem, Bukan Kecerdasan
Menjadi korban pinjol ilegal bukan tanda kebodohan. Ini adalah hasil dari tekanan psikologis, minimnya perlindungan digital, dan strategi licik yang memang dirancang untuk menjebak.
Jika Anda atau orang terdekat sedang berada di titik sulit, berhenti sejenak sebelum menekan tombol “ajukan pinjaman”. Meminta bantuan mungkin terasa berat, tapi jauh lebih aman dibanding teror berkepanjangan.











