Beritaterkini – Sejumlah suara kritis kembali menguat setelah banjir besar melanda beberapa wilayah di Sumatera pada akhir November lalu. Di tengah upaya penanganan darurat, desakan agar pemerintah pusat bertindak tegas terhadap perusahaan tambang, perkebunan sawit, hingga pelaku illegal logging semakin menggema.
Isu ini mencuri perhatian publik bukan hanya karena dampaknya yang luas, tetapi juga karena tudingan bahwa bencana tersebut tidak terjadi secara alami semata. Banyak pihak menilai kerusakan lingkungan di kawasan hulu sudah berada pada titik mengkhawatirkan.
Di saat situasi belum sepenuhnya pulih, permintaan audit total terhadap aktivitas industri ekstraktif kembali menjadi sorotan, terutama dari organisasi dan tokoh yang selama ini fokus pada isu lingkungan dan tata kelola sumber daya alam.
Seruan Penindakan: Evaluasi Total Industri Ekstraktif
Sekretaris Jenderal Jaringan Nasional (Jarnas) Prabowo–Gibran, Azwar Muhammad, meminta pemerintah pusat melakukan evaluasi besar-besaran terhadap perusahaan tambang, perkebunan sawit, dan entitas yang diduga terlibat praktik penebangan liar. Ia menilai aktivitas tersebut menjadi salah satu faktor yang memperparah skala banjir di Sumatera.
Menurut Azwar, bencana yang menelan ratusan korban jiwa itu tidak bisa semata-mata dikaitkan dengan cuaca ekstrem. Ia menyebut kerusakan lingkungan di kawasan hulu sungai sudah terjadi bertahun-tahun tanpa pengawasan yang memadai.
Kerusakan Ekologis Bukan Hal Baru
Dalam pernyataannya, Azwar menegaskan bahwa ekspansi industri ekstraktif di Sumatera telah lama menekan daya dukung lingkungan.
“Banjir kemarin tidak bisa hanya disebut bencana alam. Ada campur tangan manusia dan lemahnya pengawasan. Pemerintah harus berani mengevaluasi, bahkan mencabut izin perusahaan yang terbukti merusak lingkungan,” kata Azwar dalam keterangan tertulis, Selasa (9/12/2025).
Pandangan ini sejalan dengan temuan berbagai organisasi lingkungan, yang selama beberapa tahun terakhir menyoroti perubahan tata guna lahan di Sumatera yang cukup masif.
Data Kerusakan: Hutan Hilang Lebih dari 1,4 Juta Hektare
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebelumnya mencatat hilangnya lebih dari 1,4 juta hektare hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sepanjang 2016–2025. Penyebab utamanya berasal dari pembukaan lahan untuk tambang, perkebunan sawit, dan sejumlah proyek energi.
Dampak Hilangnya Tutupan Hutan
Hilangnya tutupan hutan membuat daerah hulu sungai kehilangan kemampuan menyerap air. Dalam kondisi curah hujan tinggi, limpasan permukaan meningkat sampai dua hingga tiga kali lipat, membuat banjir lebih cepat meluas.
Pakar hidrologi dari Universitas Syiah Kuala, Dr. Dedi Firmansyah, dalam wawancara terpisah beberapa waktu lalu pernah menjelaskan bahwa deforestasi di kawasan curam memperbesar risiko banjir bandang.
“Ketika hutan hilang dan tanah kehilangan struktur alami penahan air, kapasitas sungai menurun. Ini membuat air meluap jauh lebih cepat,” ujarnya dalam diskusi publik terkait mitigasi bencana.
Kerugian Ekonomi Ditaksir Mencapai Rp68,67 Triliun
Selain menimbulkan korban jiwa, banjir besar di Sumatera juga menciptakan kerugian ekonomi yang sangat besar. Menurut analisis Center of Economic and Law Studies (Celios), total kerugian ditaksir mencapai Rp68,67 triliun.
Infrastruktur Rusak dan Aktivitas Ekonomi Terhenti
Kerugian tersebut mencakup:
-
kerusakan rumah warga,
-
fasilitas umum seperti jembatan dan jalan,
-
kerusakan lahan pertanian,
-
serta terganggunya aktivitas ekonomi masyarakat di sejumlah kota dan desa.
Celios juga mencatat bahwa gangguan distribusi pangan dari dan menuju wilayah terdampak sempat terjadi, membuat harga beberapa komoditas naik sementara.
Desakan Kebijakan: Audit, Moratorium, dan Penegakan Hukum
Azwar meminta pemerintah pusat melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh perusahaan tambang, sawit, hingga pemegang izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) di wilayah dengan risiko ekologis tinggi.
Ia juga menekankan pentingnya penegakan hukum tanpa kompromi terhadap pelaku illegal logging atau perusahaan yang beroperasi di luar izin.
Moratorium Izin dan Transparansi Data
Azwar turut mendesak adanya moratorium penerbitan izin baru di kawasan hulu sampai evaluasi menyeluruh selesai dilakukan. Ia menekankan bahwa transparansi data perizinan harus dibuka agar publik dapat ikut mengawasi.
“Kita tidak anti-investasi. Tapi investasi tidak boleh mengorbankan keselamatan rakyat. Jika aktivitas industri membuat warga kebanjiran setiap tahun, negara wajib turun tangan,” tegasnya.
Sikap Pemerintah: Pengawasan Akan Diperkuat
Sebelumnya, sejumlah kementerian menyebut bahwa pemerintah pusat sedang memperkuat pengawasan dan mengidentifikasi faktor penyebab banjir Sumatera.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) misalnya, menyatakan bahwa tim gabungan telah diturunkan untuk mengevaluasi kawasan terdampak dan memeriksa dugaan pelanggaran izin yang melibatkan perusahaan.
Kementerian PUPR juga menekankan bahwa penanganan banjir tidak hanya soal infrastruktur, tetapi juga pemulihan ekologis jangka panjang.
Pejabat KLHK dalam konferensi pers beberapa bulan lalu mengingatkan:
“Penegakan hukum lingkungan tidak hanya menyasar pelaku perorangan. Korporasi juga akan ditindak jika terbukti melanggar.”
Analisis Singkat: Banjir sebagai Alarm Pengelolaan SDA
Banjir besar di Sumatera kembali menjadi alarm penting bahwa pengelolaan sumber daya alam tidak bisa lagi dilakukan tanpa kontrol ketat.
Model pembangunan yang terlalu mengandalkan ekstraksi tanpa mitigasi risiko ekologis hanya akan menciptakan bencana berulang.
Pakar perencanaan lingkungan menilai bahwa langkah evaluasi total dan penghentian izin baru di daerah hulu adalah langkah strategis untuk mencegah bencana serupa di masa depan.











