Hukum Istri Gugat Cerai Suami dalam Pandangan Islam: Dalil, Syarat, dan Ketentuannya

Maman S

Beritaterkini – Perceraian dalam Islam bukan sesuatu yang dianjurkan, tetapi juga tidak sepenuhnya dilarang. Ia diposisikan sebagai jalan terakhir ketika tujuan pernikahan—mewujudkan sakinah, mawaddah, dan rahmah—sudah tidak mungkin lagi dicapai. Dalam konteks ini, Islam memandang pernikahan sebagai ikatan suci yang idealnya dijaga dengan penuh tanggung jawab oleh kedua belah pihak.

Namun realitas rumah tangga tidak selalu berjalan sesuai harapan. Ketika konflik berkepanjangan justru menghadirkan mudarat, syariat Islam membuka ruang penyelesaian, termasuk perceraian yang tidak hanya bisa dilakukan oleh suami melalui talak, tetapi juga oleh istri melalui mekanisme gugatan cerai.

Lantas, bagaimana sebenarnya hukum istri gugat cerai suami dalam Islam? Apakah dibenarkan, dan dalam kondisi seperti apa gugatan tersebut dianggap sah menurut syariat? Berikut penjelasan lengkapnya berdasarkan Al-Qur’an, hadis, dan pandangan fikih para ulama.

Perceraian dalam Islam: Jalan Terakhir, Bukan Pilihan Utama

Islam menempatkan pernikahan sebagai akad yang kuat (mitsaqan ghalizhan). Karena itu, segala upaya perbaikan—nasihat, musyawarah, hingga mediasi—dianjurkan sebelum sampai pada perceraian. Prinsip ini ditegaskan dalam berbagai ayat dan hadis yang menekankan pentingnya menjaga keutuhan rumah tangga.

Meski begitu, Islam juga realistis. Ketika pernikahan justru melahirkan ketidakadilan, kekerasan, atau pelanggaran nilai agama, mempertahankannya secara paksa bukanlah solusi. Dalam situasi inilah gugatan cerai oleh istri menjadi salah satu opsi yang dibenarkan syariat.

Dalil Al-Qur’an tentang Gugatan Cerai oleh Istri

Al-Qur’an secara eksplisit mengakui mekanisme perceraian atas permintaan istri melalui konsep khulu’. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT:

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا

Artinya: “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.” (QS. Al-Baqarah: 229)

Ayat ini menjadi landasan utama bahwa Islam membolehkan istri meminta cerai dengan memberikan kompensasi tertentu kepada suami, umumnya berupa pengembalian mahar. Pesan penting dari ayat ini adalah larangan mempertahankan pernikahan yang justru menghalangi pelaksanaan nilai-nilai agama.

Dalil Hadis tentang Praktik Khulu’

Praktik khulu’ juga memiliki dasar kuat dari hadis Nabi Muhammad SAW. Salah satu riwayat paling terkenal adalah kisah istri Tsabit bin Qais yang diriwayatkan Imam al-Bukhari:

Artinya: “Istri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi SAW dan berkata: ‘Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit dalam akhlak dan agamanya, tetapi aku khawatir kufur dalam Islam.’ Rasulullah bersabda: ‘Apakah engkau mau mengembalikan kebun (mahar) yang ia berikan?’ Ia menjawab: ‘Ya.’ Maka Rasulullah bersabda: ‘Terimalah kebun itu dan ceraikanlah ia dengan satu talak.’” (HR. al-Bukhari)

Hadis ini menunjukkan bahwa ketidakharmonisan batin, meski tanpa cacat moral atau agama pada suami, dapat menjadi alasan sah bagi istri untuk mengajukan cerai, selama prosedurnya sesuai syariat.

Bentuk Gugatan Cerai Istri dalam Fikih Islam

Dalam kajian fikih, gugatan cerai oleh istri dikenal dalam dua bentuk utama, yaitu khulu’ dan fasakh.

Khulu’: Perceraian dengan Tebusan

Khulu’ adalah perceraian atas permintaan istri dengan memberikan tebusan kepada suami. Tebusan ini biasanya berupa pengembalian mahar, meski jumlah dan bentuknya bisa disepakati bersama. Dalam praktik klasik, persetujuan suami menjadi bagian dari proses khulu’.

Namun dalam konteks peradilan Islam modern, termasuk di pengadilan agama, hakim dapat memfasilitasi bahkan memutuskan khulu’ apabila terbukti ada kemudaratan yang berkelanjutan dalam rumah tangga.

Fasakh: Pembatalan Nikah oleh Hakim

Berbeda dengan khulu’, fasakh merupakan pembatalan pernikahan yang diputuskan oleh hakim tanpa bergantung pada persetujuan suami. Fasakh biasanya dilakukan ketika ditemukan pelanggaran serius atau kondisi yang merusak tujuan pernikahan.

Alasan fasakh antara lain:

  • Suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin

  • Terjadi kekerasan dalam rumah tangga

  • Suami menghilang dalam waktu lama

  • Menderita penyakit berat yang menghalangi hubungan suami istri

  • Melakukan perbuatan yang merusak akidah atau moral keluarga

Para ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali sepakat bahwa hakim memiliki wewenang untuk memutus fasakh demi menghilangkan kemudaratan, berlandaskan kaidah fikih:

الضَّرَرُ يُزَالُ
“Kemudaratan harus dihilangkan.”

Hukum Istri Gugat Cerai Suami dalam Islam

Status hukum gugatan cerai oleh istri dalam Islam tidak bersifat tunggal, melainkan bergantung pada sebab yang melatarbelakanginya.

Jika gugatan diajukan karena adanya mudarat nyata dan berkelanjutan—seperti kekerasan, penelantaran, atau pelanggaran agama—maka hukumnya boleh, bahkan dalam kondisi tertentu bisa menjadi wajib demi menjaga keselamatan jiwa, kehormatan, dan agama.

Sebaliknya, jika gugatan cerai dilakukan tanpa alasan syar’i yang jelas, hanya karena emosi sesaat atau keinginan duniawi, maka perbuatan tersebut dipandang tercela. Hal ini sebagaimana peringatan Nabi SAW:

Artinya: “Perempuan mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan, maka haram baginya mencium bau surga.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Hadis ini menegaskan bahwa gugatan cerai tidak boleh dijadikan alat pelampiasan hawa nafsu, melainkan benar-benar ditempuh sebagai jalan terakhir.

Kesimpulan: Hak Istri, Keadilan Syariat

Dari seluruh uraian di atas, jelas bahwa Islam memberikan hak kepada istri untuk menggugat cerai suami melalui mekanisme yang sah dan terukur. Syariat tidak menutup mata terhadap penderitaan dalam rumah tangga, sekaligus tidak membuka pintu perceraian tanpa alasan yang dibenarkan.

Dalam perspektif Islam, gugatan cerai istri bukan bentuk pembangkangan terhadap institusi pernikahan. Sebaliknya, ia adalah solusi darurat yang dibenarkan ketika rumah tangga gagal menjaga nilai agama, kemanusiaan, dan keadilan.

Also Read