Tekan Penularan TBC, Kemenkes Gelar Skrining Massal di Kawasan Wisata Yogyakarta

Maman S

Beritaterkini – Upaya pemerintah untuk menekan penularan TBC terus digenjot, terutama di wilayah dengan mobilitas masyarakat yang tinggi. Salah satu langkah terbarunya dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui skrining aktif terhadap ribuan pelaku wisata di Yogyakarta. Program ini menjadi bagian dari percepatan Hasil Terbaik Cepat (PHTC) yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto untuk memperkuat layanan kesehatan masyarakat.

Dalam kegiatan yang digelar di kawasan Malioboro dan Keraton Yogyakarta itu, sedikitnya 2.000 pelaku wisata mengikuti pemeriksaan Tuberkulosis (TBC) berbasis laboratorium. Dua ikon wisata tersebut dipilih karena menjadi pusat interaksi publik terbesar di DIY, dengan estimasi kunjungan mencapai 15 juta wisatawan setiap tahun. Dengan arus pergerakan sebesar itu, potensi penyebaran penyakit menular seperti TBC dinilai cukup tinggi sehingga perlu intervensi yang lebih agresif.

Kemenkes menegaskan bahwa skrining berbasis laboratorium menjadi kunci untuk mempercepat temuan kasus baru, memutus rantai penularan, sekaligus memastikan penyintas mendapatkan pengobatan tepat waktu.

Aksi Skrining Massal untuk Tekan Potensi Penularan TBC di Kawasan Wisata

Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes), Benjamin Paulus Octavianus, menjelaskan bahwa kawasan wisata selalu menjadi titik interaksi besar antara masyarakat dan pendatang. Karena itu, langkah skrining aktif dianggap krusial.

Menurut Benjamin, peningkatan mobilitas setelah pandemi membuat kawasan wisata semakin penuh. “Skrining berbasis laboratorium seperti hari ini memiliki dampak strategis terhadap pengendalian penularan,” ujarnya saat menghadiri kegiatan tersebut pada Minggu (7/12/2025).

Selain skrining terhadap para pelaku wisata, Kemenkes juga melakukan investigasi kontak keluarga pasien TBC. Pendekatan ini digunakan untuk mendeteksi risiko penularan di lingkup rumah tangga dan memperkuat kendali epidemiologi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Situasi Terkini Penanganan TBC di DIY

Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk wilayah dengan upaya penanganan yang cukup aktif, namun tantangannya masih besar. Data Kemenkes menunjukkan:

  • Penemuan kasus baru TBC di DIY: 65%

  • Pasien yang memulai pengobatan: 93%

  • Keberhasilan pengobatan: 79%

  • Cakupan Terapi Pencegahan TBC (TPT): 22%

  • Capaian investigasi kontak: 53%

Angka keberhasilan pengobatan yang belum optimal menjadi salah satu fokus intervensi. Penderita TBC wajib mengonsumsi obat secara rutin selama 6 bulan atau lebih. Gangguan pengobatan seperti putus berobat sering menjadi penghalang keberhasilan terapi.

Situasi di Kota Yogyakarta

Untuk Kota Yogyakarta, capaian deteksi dini TBC sebenarnya sudah sangat tinggi:

  • Penemuan kasus: 100%

  • Pasien memulai pengobatan: 93%

  • Keberhasilan pengobatan: 73%

  • Cakupan TPT: 34%

  • Investigasi kontak: 49%

Meski penemuan kasus sudah optimal, tingginya mobilitas warga kota wisata membuat risiko penularan tetap ada—terutama dari batuk tidak terkontrol di ruang publik. Ini menjadi alasan penekanan pemerintah terhadap skrining aktif, edukasi masyarakat, hingga pentingnya etika batuk yang benar.

Seorang pejabat Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes menjelaskan bahwa peningkatan cakupan TPT dan investigasi kontak akan menjadi fokus. “Daerah wisata punya risiko interaksi yang lebih kompleks. Diperlukan strategi khusus untuk menekan transmisi,” ujarnya dalam keterangan resmi sebelumnya.

Peluncuran Model Baru Skrining TBC Berbasis Laboratorium

Pada kesempatan yang sama, Kemenkes meluncurkan Model Active Case Finding (ACF) TBC Berbasis Laboratorium. Model ini merupakan pendekatan skrining dengan akurasi tinggi yang dapat diulang di daerah lain, terutama yang memiliki arus keluar masuk penduduk cukup besar.

Wamenkes Benjamin menilai model ini penting untuk menjadi best practice nasional. “Saya berharap model ini bisa menjadi role model, terutama bagi kawasan wisata dan wilayah dengan mobilitas tinggi,” ucapnya.

Model ACF berbasis laboratorium memungkinkan deteksi TBC aktif dilakukan lebih cepat, presisi, dan terukur. Proses ini biasanya melibatkan pemeriksaan dahak menggunakan metode molekuler seperti Tes Cepat Molekuler (TCM). Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi bakteri TBC dan resistensi obat dalam waktu singkat.

Mengapa Skrining TBC Penting?

TBC adalah penyakit menular yang menyebar melalui udara, terutama ketika penderita batuk atau bersin. Di daerah ramai seperti Malioboro, risiko penularan bisa meningkat drastis. Oleh karena itu, intervensi dini sangat penting untuk:

  • memutus rantai penularan,

  • mencegah infeksi laten berkembang menjadi aktif,

  • memastikan penderita segera menjalani pengobatan,

  • mengurangi beban kesehatan jangka panjang.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menekankan pentingnya skrining aktif di wilayah padat dan berisiko tinggi untuk percepatan eliminasi TBC secara global.

Komitmen Pemerintah dalam Mendorong Eliminasi TBC Nasional

Kemenkes menegaskan komitmennya melalui 4 langkah besar:

  1. Memperluas cakupan skrining aktif di lokasi berisiko tinggi seperti pasar, terminal, sekolah, dan kawasan wisata.

  2. Meningkatkan cakupan TPT untuk mencegah perkembangan infeksi laten.

  3. Memperkuat surveilans komunitas, termasuk investigasi kontak.

  4. Mengintegrasikan layanan TBC ke dalam transformasi layanan primer, sehingga lebih mudah diakses masyarakat.

Langkah-langkah ini diharapkan mempercepat target eliminasi TBC nasional sekaligus memberikan perlindungan lebih optimal kepada kelompok rentan.

Kesimpulan

Upaya menekan penularan TBC di Yogyakarta kini memasuki tahap lebih agresif melalui skrining massal dan peluncuran model ACF berbasis laboratorium. Dengan mobilitas wisata yang tinggi serta kunjungan mencapai jutaan orang setiap tahun, pendekatan ini dinilai relevan dan strategis.

Kemenkes menargetkan agar daerah lain juga dapat mengadopsi model serupa guna memperkuat pengendalian TBC secara nasional. Kombinasi skrining aktif, investigasi kontak, dan penguatan layanan primer diharapkan mampu mempercepat penurunan kasus TBC dan meningkatkan ketahanan kesehatan masyarakat.

Also Read