Berita

Doktor Honoris Causa dan Selintas Hatta Rajasa

Tersebutlah nama Hatta Rajasa. Pernah empat kali menjabat menteri di empat kementerian berbeda selama 13 tahun dalam tiga periodisasi jabatan presiden dan dua figur presiden. Hatta Rajasa kembali menyentak — mencetak berita. Menginspirasi pengabdian anak bangsa. Menoreh prestasi dan reputasi di mata komunitas pendidikan, perguruan tinggi — khususnya ITB, almamaternya dulu.

Hampir lima tahun terakhir, nyaris tak terdengar kiprahnya di pentas nasional. Bak “tiarap” dari hingar bingar politik nasional. Bahkan kali ini, Hatta menyeruak berbeda. Jalur lambat, seolah jadi pilihan terbaik dalam kekinian. Saya mengistilahkan sebagai “jalur lambat”, ketika perlu kembali (sesaat) ke almamaternya, ITB. Back to Campus. Sertamerta berita bertajuk “Penganugerahan Doktor Kehormatan kepada Ir. Hatta Rajasa” menghiasi laman berita publik pada sepanjang hari Senin, 25 November 2019.

Sidang Terbuka (Senat Gurubesar) Institut Teknologi Bandung yang dipimpin rektor Prof. Dr. Ir. Kadarsyah Suryadi, DEA memimpin penganugerahan itu di Aula Barat ITB, Jl. Ganesha Bandung. Tak kecuali, Soesilo Bambang Yudoyono (SBY) — mantan Presiden RI (ke-6) — yang juga besannya, hadir dan mendampingi hari bersejarah dalam kehidupan Hatta Rajasa. Tampak suasana bahagia dan atmosfir membanggakan menyelimuti acara lunch time di Aula Timur ITB. Senyum khas tak henti di antara menerima ucapan selamat, Hatta tetap tampak bersahaja. Seiring mengalirkan do’a bagi kesembuhan istri tercinta, drg. Oktiniwati Ulfa Dariah (Okke) yang kabarnya tengah terbaring sakit. Tak kecuali Rektor ITB dalam sambutannya di akhir sidang, turut memanjatkan doa itu. Selanjutnya, tak sekadar menjadi “kado istimewa” menjelang genap usia 66 tahun — 18 Desember 2019. Lengkap sudah kiprah dan berkah Hatta Rajasa.

Selama 13 tahun berturut menjabat empat kali menteri kabinet, Hatta Rajasa tercatat sebagai tokoh ke-13 yang berhak atas anugerah Doktor Kehormatan dari ITB. Sebuah prestasi mumpuni bagi para pengabdi negeri yang berdedikasi. Langka dan luarbiasa. Betapa tidak, ITB sebagai perguruan ternama dan bergengsi — sejak 1959 — baru (hanya) memberikan 13 gelar Doktor Kehormatan (HC, honoris causa). Penganugerahan pertama kali diberikan kepada Dr. Ir. Soekarno, proklamator dan presiden pertama RI pada tahun pertama atau 1959. Selanjutnya adalah Dr. Ir. Sediatno, Prof. Dr. Ir. J. Rooseno, Dr. Soetarjo Sigit, Dr. Ir. Hartanto Sastrosoenarto, Prof. Dr. Emil Salim (2009), Dr. Ir. Arifin Panigoro (2010), Prof. Dr. Soesilo Bambang Yudoyono (2016), Prof. Peter Agre (2017), Prof. Finn Erling Kydland (2019), Dra Nurhayati Subahat, Apt. (2019), Ir. Theodore Permadi Rahmat (2019) dan terakhir, Ir. Hatta Rajasa. (ITB berdiri sejak 03 Juli 1920 dengan nama Technische Hoogeschool te Bandoeng, sebelum berganti nama ITB pada 02 Maret 1959).

Di hadapan Sidang Terbuka ITB, Hatta Rajasa menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Kebijakan Publik Unggul: Tantangan Indonesia Kemarin, Hari ini dan Esok” antara lain menyatakan, kebijakan publik menentukan kebijakan sebuah negara. “Kebijakan unggul yang mendapat dukungan rakyat,” ungkapnya. Capaian prestasi dan kiprah Hatta, bersesuaian dengan motto almamater ITB :in Harmoniae Progressio, yakni “Kemajuan dalam Keselarasan”.

Tak kurang Prof. Dr. B. Kombaitan, MSc selaku ketua merangkap anggota tim promotor mengatakan, pemikiran Hatta Rajasa tentang kebijakan publik terinspirasi dari pemikiran John Maynard Keynes yang membawa perubahan besar dalam kebijakan ekonomi Inggris pada era Great Depression tahun 1930an. “Mengedepankan kembali peran negara melalui intervensi kebijakan publik dalam mendorong permintaan untuk memacu pertumbuhan ekonomi,” kata Kombaitan. Promotor lainnya Prof. Tommy Firman, MSc, Phd; Prof. Hermawan Kresno Dipojono, MSc, Phd; Prof. Freddy Permana Zen, MSc, DSc dan Prof. Ir. Deddy Abdassah, MSc, Phd.

“Capaian Hatta Rajasa dalam praktik dan kebijakan publik, layak dibanggakan. Doktor kehormatan diberikan sebagai sumber inspirasi bagi peningkatan dan perluasan kontribusi ITB,” ungkap Rektor ITB. Penghargaan dalam bidang kebijakan publik kepada Hatta merupakan kedua, setelah sebelumnya dianugerahi award dari Asia Society di Amerika Serikat pada 2011.

Selama 15 tahun berkiprah dalam dunia politik dan birokrasi, Hatta mengawali sebagai anggota DPR RI pada 1999 — pemilu pertama pascareformasi. Mewakili Partai Amanat Nasional (PAN). Sebelumnya menjabat Sekjen DPP PAN (2000-2005) hingga posisi ketua umum (2010-2015). Dalam kurun itu, Hatta pernah memimpin empat kementerian. Posisi tertinggi terakhir sebagai Menko bidang Perekonomian RI. Bermula sebagai Menteri Riset & Teknologi (2001-2004), Menteri Perhubungan (2004-2007), Menteri Sekretaris Negara (2007-2009) dan Menko Perekonomian (tadi) 2009-2014, termasuk dipercaya jadi menteri keuangan ad interim. Jabatan menko sejak 22 Oktober 2009 berakhir empat bulan lebih cepat pada 13 Mei 2014, menyusul undur diri untuk mengikuti kontestasi presiden yang dideklarasikan 19 Mei 2019 berpasangan dengan Prabowo Subianto. Sisa masa jabatan (empat bulan) Menko Perekonomian dipercayakan Chairul Tanjung.

HR yang Kutahu

Hatta Rajasa adalah anak ke-dua dari 12 bersaudara. Ayahnya, H. Muhammad Tohir adalah Camat di Muara Kuang, Kab. Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Melanjutkan pendidikan tinggi di Bandung, kampus ITB sejak 1973. Tercatat aktif di organisasi kemahasiswaan: senat mahasiswa hingga aktivis Masjid Salman ITB.

Saya mengenali Hatta sebagai aktivis pergerakan, semasa Perjuangan Mahasiswa 1977/78 dengan agenda utama “Menurunkan Soeharto”. Berbeda kampus, saya kuliah di Unpad. Menjadi bagian dari komite pergerakan, saya ditugasi menggandakan “Buku Putih” yang berisi koreksi terhadap rezim orde baru alias orba (dengan mesin putar stensil, belum dikenal mesinv foto copy). Baru 20 tahun kemudian, rezim orba tumbang melalui Gerakan Reformasi 1998 — termasuk Hatta pun berperan dalam deklarasi PAN — partai debutan pasca reformasi itu — di Istora Senayan, 23 Agustus 1998.

Hatta mengawali karier politik dari “bawah” sebagai ketua departemen sumberdaya alam (SDA) dan energi DPP PAN yang kali pertama dipimpin M. Amien Rais, lokomotif Gerakan Reformasi 1998 dengan sekjen Faisal Basri. Selanjutnya dipercaya memimpin serupa Bapilu (Badan Pemilihan Umum) yang bertanggungjawab terhadap rekrutmen caleg DPR RI dan dokumen prasyarat untuk Pemilu 1999 atau pemilu pertama pascareformasi. Dalam masa relatif pendek dan baru “belajar melangkah” itu, tak kecuali mobilitas M Amien Rais ke berbagai kota di luar Jakarta — berdampak terhadap finalisasi dokumen para caleg. Adalah keharusan tanda tangan ketua umum partai. Karuan sejumlah kali, saya bersama Tjatur Sapto Edy (kelak terpilih anggota DPR RI selama 3 periode, sejak pemilu ke-dua pascareformasi) harus menembus pekat malam menuju kota persinggahan M Amien Rais (MAR). Apalagi, kalau bukan membawa tumpukan dokumen caleg untuk ditandatangani beliau, sebelum batas akhir pendaftaran ke KPU. Tak kecuali, Hatta pun tercatat sebagai caleg DPR RI untuk dapil Kota Bandung. Bersamaan M Amien Rais dari dapil DKI Jakarta, yang selanjutnya terpilih sebagai Ketua MPR RI.

Pemilu pertama pasca reformasi berlangsung 07 Juni 1999. Diikuti 48 partai, sekaligus mewarnai euforia berakhirnya rezim orba dengan hanya tiga partai peserta. Saya bersyukur bisa ikut “mengawal” Hatta memonitor hasil perolehan suara PAN di sejumlah TPS. Bersama Cecep Rukmana, deklarator PAN di Jabar — kota Bandung menghasilkan satu kursi DPR RI. Tentu, atasnama Hatta Rajasa.

Kali pertama berkiprah di DPR RI, euforia gerakan reformasi masih kental. Karuan, representasi PAN menamakan diri Fraksi Reformasi. Praktis Hatta yang kala itu menonjol dipercaya sebagai ketua fraksi. Sikap kritis, dan kepiawaian lobby, Hatta dkk termasuk di antaranya Alvien Lie dikenal vokal terhadap setiap kebijakan pemerintah hingga dijuluki “Koboi Senayan”. Hatta pun gemar mendiskusi berbagai issue. Masa itu, kami rutin berkumpul diskusi pendek di rumahnya setiap pagi hari kerja — menjelang tugasnya ke gedung parlemen. Kami yang dimaksud antara lain Tjatur Sapto, Putra Jaya, Akmaldin Nur (kelak juga menyusul jadi anggota DPR RI), Azis Subekti, dan Priyono Juniarsanto.

Saya yang tinggal di Kota Bandung, praktis (sempat) ikut standby di Jakarta selama setahun. Setiap hari Senin, saya berangkat dari Bandung paling lambat pk 04.00. Tentu, masih lewat Puncak. Kembali dari Jakarta setiap Jumat malam. Tak jarang, saya didorong asprinya — Syahrulan — menemani Hatta bersarapan pagi. Menjadi banyak hafal menu sarapan beliau. Tak lebih dari nasi goreng dan minum jus wortel yang selalu disiapkan istri tercinta. Setiap pagi berjus wortel itu, konon menjadikannya rambut melulu berwarna putih segar dan kualitas penglihatan yang hingga kini Hatta tak perlu menggunakan kaca mata baca lazimnya bagi usia di atas 40 tahun. Terkait itu, Hatta kian populer dengan sebutan Rambo (rambut bodas, bhs Sunda) dan sapaan initial HR.

Belum setahun kiprahnya di parlemen, HR dipilih sebagai Ketua OC (organizing committee) atau panitia pelaksana Kongres pertama PAN di Yogyakarta tahun 2000. Materi kongres disiapkan tim yang dipimpin Putra Jaya di “markas” Jl. Darmawangsa, Jakarta Selatan. Sehari jelang pembukaan kongres, saya bersama Akmaldin Nur, Azis Subekti dan Zen (supir HR) dengan mobil jeep milik HR mendapat tugas “mengawal” materi kongres. Satu bak truk penuh tumpukan tas transparan berisi satu set materi kongres yang siap dibagikan kepada para peserta. Perjalanan Jakarta – Yogya selama 12 jam. Kami selalu di belakang laju truk. Sejak matahari terbit dan sudah mendekati masuk Yogya, tak ayal HR setiap satu jam — memonitor perjalanan kami. Bukan semata tanggungjawabnya, tapi masa itu dinilai masih transisi politik-yang khawatir terkendala hal tak diinginkan.

Dalam kongres yang gegap gempita hingga butuh tambahan waktu sehari itu, terpilih HR sebagai Sekretaris Jenderal mendampingi MAR sebagai Ketua Umum. Selanjutnya HR menjadi Ketua Umum DPP PAN (2010-2015) dalam kongres III yang dilaksanakan di Batam, Januari 2010, menggantikan Soetrisno Bachir yang dihasilkan kongres II di Semarang tahun 2005. Kemudian Kongres IV di Bali 2015, HR mengestafetkan kepada Zulkifli Hasan untuk tahun 2015-2020.

Usai Abdurrachmad Wahid (Gusdur) meninggalkan jabatan Presiden pada tahun 2001 – Megawati Soekarnoputri naik takhta – HR mendapat pos eksekutif sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi atau Kepala Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT). Jabatan itu berakhir hingga Pemilu 2004. Bersamaan dengan pemberlakuan pemilihan langsung untuk pasangan presiden. Terpilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). PAN kembali mendorong HR masuk dalam kabinet. Kedua kalinya HR kembali terpilih jadi anggota DPR RI lewat Pemilu 2004 – pun kembali harus meninggalkan kursi lembaga legislatif. Melangkah ke eksekutif. Kali ini sebagai Menteri Perhubungan selama tiga tahun hingga tahun 2007. Menyusul penunjukan Menteri Sekretaris Negara 2007-2009. Semakin dekat dengan SBY, hingga menjadi besannya. SBY meraih jabatan lanjutan sebagai Presiden. Dengan prestasinya pula, HR dipercaya menjadi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian 2014-2019, yang menyisakan empat bulan terakhir untuk mundur karena mengikuti Pilpres 2014.

Kembali ke rentang hampir lima tahun terakhir, HR dikabarkan lebih banyak menjaga kebugaran lewat olahraga kegemarannya. Menjajal tantangan berbeda di sederet lapangan golf. Suatu hari HR berkirim pesan WhatApp: salam dari Irlandia. Tiga kali, saya memimpikan jumpa HR – hingga meminta jadwal ulang. Akhirnya saya berkesampatan jumpa – bersalaman, memeluknya sesaat – sambil menghaturkan selamat dan rasa bangga. Ya, di Suka Barat ITB, hari Senin kemarin, 25 November 2019 – usai Penganugerahan Doktor Kehormatan dalam Sidang Terbuka ITB. Gelar Doktor Honoris Causa untuk Ir Hatta Rajasa. Senada lantunan bait lagu wajib: bagimu negeri, jiwa raga kami yang dinyanyikan Paduan Suara Mahasiswa ITB di akhir prosesi. Selamat berjaya Hatta Rajasa.

Oleh: IMAM WAHYUDI
Ketua Komunitas Wartawan Senior (KWS) Jawa Barat

Related Articles

One Comment

  1. I’m impressed, I have to admit. Rarely do I encounter a
    blog that’s equally educative and engaging, and let me
    tell you, you’ve hit the nail on the head. The problem is something which
    not enough people are speaking intelligently
    about. I’m very happy I found this in my hunt for something concerning this.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: