Berita

Gelar Konferensi Pers, KPK Paparkan Hasil Kajian Kebijakan Pemerintah Dalam Mengelola EBT Tahun 2019 Di Sektor Ke’Listrik’Kan

Jakarta, BERITATERKINI.CO.ID | Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Menggelar Konfrensi pers untuk memaparkan tentang hasil kajian KPK di sektor kelistrikan tahun 2019, Sabtu (7/3/2020), siang.

Disampaikan Ipi Maryati selaku Plt Juru Bicara KPK kepada kantor berita Jarrak Media Grup, tentang pengelolaan sampah menjadi energi listrik baru terbarukan atau biasa disebut EBT. “KPK telah menyampaikan hasil kajian kepada pemangku kepentingan yaitu menteri ESDM dan Kementrian Maritim dan Investasi.

IPi melanjutkan, “KPK sudah melakukan kajian Sejak 2015 dan 2019 KPK juga mengkaji kembali di sektor kelistrikan, tujuannya untuk mendorong dan mendukung penyelenggaraan penggunaan tenaga listrik yang efisien dan handal serta berkelanjutan, selain itu Ipi juga menerangkan, “kajian dilakukan sebagai upaya untuk memperbaiki dan pembenahan sektor tenaga listrik yang bebas korupsi”.

Hadir dalam konfrensi pers, Nurul Ghufron Pimpinan KPK didampingi Deputi Pencegahan Pahala Nainggolan.

Nurul Ghufron menyampaikan, “selain tindakan hukum, KPK juga perlu melakukan review terhadap kebijakan Pemerintah, yang mengancam in-efisiensi, jika dilihat volume sampah di Indonesia mencapai 64 juta ton/tahun dan itu perlu diselesaikan”, terangnya.

“Kajian dilakukan karena KPK melihat program Pemerintah untuk meningkatkan baruan energi (EBT) dengan target 23% di 2025, saat ini baru terlaksana 10% dan Pemerintah, kemudian mencanangkan percepatan penanganan sampah melalui Pembangunan pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Untuk keberhasilan pembangunan PLTSa, Pemerintah sudah mengeluarkan 3 Perpres dalam rangka mempercepat pembangunan PLTSa. Nyatanya hingga akhir tahun 2019 belum satupun PLTSa berhasil dibangun”, ungkap Ghufron.

Lebih lanjut, “dari hasil kajian, ditemukan permasalahan di tiga aspek ; direktif, model bisnis, dan basis teknologi.

Sedangkan Deputi pencegahan KPK Nainggolan menerangkan, “bahwa sesuai Perpres, mekanisme pengelolaan sampah melalui PLTSa yaitu dimulai titik pengepul sampah yang diambil dari rumah tangga menggunakan anggaran Dinas kebersihan (APBD), kemudian dari titik pengelolaan menjadi listrik itu namanya tipping fee, listrik dijual ke PLN sesuai Perpres, itu harganya 13,5 sel/kwh jika dibandingkan harga jual listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) harganya hanya 4-5 sel/Kwh, selisih itu harus disubsidi oleh PLN maka PLN harus menanggung Rp.1,6 Triliun siapa yang akan membayar? Ini yang kita soroti ,kenapa tipping fee menjadi mahal”, katanya.

Foto ; Rec.dok/
Tarif beli listrik memberatkan PLN (diberlakukan sistem take or pay, berapapun sampah didapat, dibayar sesuai kontrak perjanjian, kondisinya jumlah sampah tidak sesuai dari target kuota sampah, kondisi ini menguntungkan pengusaha sepihak).

Nainggolan menambahkan, “Jika PLTSa dilaksanakan maka Pemerintah harus siap anggaran Rp. 3,6 Triliun, dihitung dari biaya langsung pengelolaan sampah Rp. 2,03 Triliun yang harus disiapkan per-tahun untuk dibayarkan kepada badan usaha dan perkiraan subsidi yang harus dibayarkan ke PLN, sebesar Rp. 1,6 Triliun atas selisih harga tarif beli listrik PLTSa yang tinggi”, jelasnya.

Menurut Deputi Bidang Pencegahan KPK, resiko beban anggaran ini menjadi signifikan mengingat masa kontrak, KPK melihat ada dua persoalan yaitu pengelolaan sampah dan penyediaan listrik untuk PLN, melalui kebijakan waste to energy, persoalan sampah bisa teratasi, dengan teknologi incinerator atau mengubahnya menjadi briket atau bentuk lainnya. Mengingat jumlah sampah di beberapa Daerah tidak mencapai kuota target dan listrik yang dihasilkan jumlahnya kecil namun menelan biaya tinggi atau mahal” pungkas Pahala Nainggolan. /BRT

Editor ; Dik Eno

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: