Sikap Masyarakat Sipil Atas Tewasnya Dua Petani Lahat
MEDAN – BERITATERKINI.co.id – Merujuk pada berita media online kliktodaynews.com tersiar khabar bahwa telah terjadi bentrok fisik antara 100an orang petani dengan security perkebunan sawit PT. Arta Prigel yang melibatkan preman, dan 5 orang aparat kepolisian bersenjata laras panjang yang berakibat pada tewasnya 2 orang petani dengan luka tikam dan bacokan. Sementara 4 petani lain mengalami luka akibat sabetan senjata tajam. Konflik fisik ini terjadi di atas lahan sengketa seluas 180,36 hektar di desa Pagar Batu, kecamatan Pulau Pinang, kabupaten Lahat, provinsi Sumatera Selatan, Sabtu (21/3/2020) siang.
Sekitar pukul 09.00 WIB pagi, rombongan perusahaan perkebunan datang ke lahan dan memaksa petani agar keluar dan meninggalkan lahan konflik. Namun, para petani yang mengaku dahulu lahan tersebut adalah lahan mereka yang diambil paksa perusahaan, bersikukuh dan menolak paksaan meninggalkan lahan. Situasi ini terjadi hingga siang hari, hingga keadaan terbalik, petani mendesak rombongan dari pihak perusahaan didesak petani untuk meninggalkan lahan. Karna keduanya bersikukuh, akhirnya bentrokanpun terjadi dan menewaskan Putra Bakti (35) ditikan pada bagian dada dan Suryadi (40) yang berusaha menolong Putra turut menjadi korban, dibacok dan ditikan senjata tajam.
Seperti dilansir kliktodaynews.com, selain 2 orang petani menjadi korban tewas, 4 orang petani lainnya mengalami luka-luka. 2 diantara yang telah teridentifikasi adalah Sumarlin (38) dan Lion Agustin (35), juga mengalami luka bacok di beberapa bagian anggota tubuh. Semua korban, termasuk Suryadi dan Putra, sempat dilarikan ke rumah sakit umum Lahat. Namun nyawa Suryadi dan Putra tidak tertolong.
Peristiwa konflik agraria yang menewaskan 2 orang petani dan paling sedikit 4 korban luka parah ini menyulut reaksi masyarakat sipil dari berbagai lembaga, di Jakarta maupun daerah. Abdon Nababan, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam akun media sosialnya menyatakan keprihatinannya, “di tengah pandemi #COVID19 yang memaksa kita harus bekerja di rumah, ternyata siang tadi masih menerima kabar mengejutkan dan menyedihkan dari kawan Risman Ludin dari Sumatera Selatan… Telah gugur di medan juang… Almarhum Suryadi dan Putra terhunus parang dan peluru, pukul 10.00. 21 Maret 2020”. Demikian posting Abdon di FB.
Reaksi terus bermunculan, koalisi besar organisasi masyarakat sipil yang konsern terhadap masalah agraria dan hak asasi manusia, Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), merupakan gabungan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Persatuan Pergerakan Petani Indonesia (P3I), Pusaka, Sajogyo Institute, Lokataru Foundation, Solidaritas Perempuan, Bina Desa, Rimbawan Muda Indonesia (RMI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Sawit Watch, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Indonesian Human Rights Commitee for Social Justice (IHCS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) dan Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat & Ekologis (HuMa) dalam pernyataan sikapnya menuntut sediktnya 5 hal atas peristiwa ini.
Pemerintah pusat dan daerah diminta tegas melindungi hak petani atas tanah, dan dengan segera menghentikan penggusuran yang dilakukan oleh PT. Artha Prigel, Menangkap pelaku dan mengusut tuntas tindakan “brutalitas” yang dilakukan perusahaan yang telah menganiaya dan menewaskan petani. KNPA juga meminta agar Pemerintah memberikan sanksi tegas kepada perusahaan yang sengaja memancing keresahan, menggunakan kekekerasan dan memobilisasi penggusuran, di tengah situasi krisis yang mengancam negara dengan cara mencabut HGU perusahaan. Dan tegakkan Perpres Reforma Agraria dengan melindungi dan menjamin hak-hak rakyat atas tanah pertanian dan wilayah hidupnya, hentikan cara-cara kerasan dan keberpihakan aparat terhadap perusahaan di wilayah-wilayah konflik agraria.
Kepada pihak Kepolisian, KNPA meminta Kapolri segera lakukan tindakan tegas kepada anggotanya karena telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan Maklumat Kepala Kepolisian Republik Indonesia No.: Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (Covid19).
Reaksi juga muncul dari Sumatera Utara, Hawari Hasibuan, Koordinator KPA Wilayah Sumut menyatakan, “Selain sedang menghadapi ancaman pandemi Covid-19 yang juga dapat menimbulkan krisis ekonomi dan multi krisis, termasuk pangan. Kita di Sumut juga sedang menghadapi persoalan konflik agraria, okupasi petani desa Sei Mencirim, Deli Serdang dan dan beberapa lokasi lainnya oleh PTPN II didukung aparat TNI, POLR dan Serikat Pekerja/Petani Perkebunan. Khabar terbunuhnya 2 petani dan luka parah beberapa petani lain di Lahat, Sumatera Selatan ini merukan tindakan sangat keji dan tidak manusiawi”.
“Saya menerima informasi langsung dari KPA Wilayah Sumatera Selatan dan Komite Reforma Agraria Sumatera Selatan (KRASS). Tindakan penggusuran dengan kekerasan ini menunjukkan tidak serius dan tidak berpihaknya emerintah terhadap petani yang memperjuangkan hak hidupnya melalui penguasan lahan sebagai alat produksi.” Tegas Hawari.
“Petani sebagai ‘pemberi makan dunia’ atau ‘orang yang menghasilkan pangan kita’ diremehkan dan di hinakan dengan perlakukan perusahaan yang tidak mengindahkan prinsip prinsip Bisnis dan HAM (United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs – BHR) dan cenderung berprilaku tidak manusiawi. Masalah di Lahat ini, mestinya bisa diselesaikan dengan Perpress No. 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria dengan memaksimalkan fungsi Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA).” Tambah Hawari yang juga Manager Program Advokasi BITRA Indonesia, Medan.
Eksekutif Daerah Walhi Sumsel, M. Khairul Sobri di Palembang, kepada Antara hari ini (Minggu 22/03/2020) menyatakan, “Kami bersama KPA Wilayah Sumsel dan LBH Palembang yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sumsel telah melayangkan surat terbuka kepada pemerintah daerah dan pusat, Kapolda, Kapolri, DPRD Kabupaten Lahat, Provinsi Sumsel dan DPR RI untuk mengusut tuntas kekerasan dalam sengketa agraria yang menimbulkan beberapa petani luka-luka serta dua orang meninggal dunia.”
Data yang dihimpun oleh KNPA dan KPA menunjukkan, pada tahun 2019 saja, terjadi 279 letusan konflik agraria di Indonesia, 87 diantara terjadi di wilayah perkebunan akibat tindakan penggusuran dan intimidasi yang dilakukan perusahaan perkebunan. “Kejadian tersebut mengakibatkan banyak korban dari pihak petani dan masyarakat adat akibat tindakan kekerasan dan kriminalisasi yang dilakukan perusahaan dan aparat. Sebanyak 258 orang diantaranya mengalami kriminalisasi, 211 orang dianiaya, 24 orang tertembak dan 14 orang diantara tewas.” Papar Dewi Kartika, Sekjen KPA.
“Sangat disayangkan, di tengah ancaman krisis akibat wabah Covid-19 yang terus meluas, korporasi perkebunan dibantu aparat kepolisian justru membuat kekacauan di lapangan. Hal ini kontraproduktif pada wilayah konflik agraria. Perusahaan perkebunan yang selama ini sudah mendapatkan banyak keistimewaan dari kebijakan pemerintah justru seharusnya turun tangan membantu Negara menghadapi wabah, ancaman krisis pangan dan ekonomi nasional yang diduga akan meluas karena wabah Covid-19. Situasi tindakan kekerasan dan bahkan mengorbankan nyawa petani ini membuat Kami khawatir, kebijakan dan himbauan social distancing guna mencegah penyebaran wabah tidak akan efektif” Kesal Dewi.
“Kami akan terus mengawasi, mengikuti dan melihat langkah konkrit dan keseriusan pemerintah pusat dan daerah dalam merespon tuntutan di atas. Atau kami bersama seluruh serikat tani akan ‘menyalakan tanda bahaya!’ di wilayah-wilayah konflik agraria, untuk memastikan tak ada lagi perampasan tanah dan kekerasan oleh perusahaan yang dibekingi aparat.” Pungkasnya.
(M-01)