Kolom

Diundang SBY ke Cikeas

Saya sungguh tak menyangka jika artikel saya tentang SBY mendapat tanggapan dari Istana. Bahkan Presiden mengundang saya untuk bertemu di Cikeas pada tanggal 19 Agustus, dua hari seusai perayaan kemerdekaan.

Ponsel saya berdering sore itu. “Halo, ini Bung Adde,” suara dari seberang sana. “Ya.” jawab saya singkat. Dia memperkenalkan diri. “Ini saya Bung, Andi Arief…Saya diminta Presiden mengundang Anda besok..”

Saya sungguh terkejut. Lalu Bung Andi Arief meminta saya mempersiapkan diri untuk bertemu SBY besok di Cikeas. Saya tak menyangka surat iseng saya ditanggapi begitu serius oleh petinggi negeri ini. Ah jalani saja, pikir saya. Istri dan anak saya menanggapi biasa saja undangan itu.

Besok hari saya ke bandara naik Garuda paling pagi. Menurut Andi Arief, saya akan dijemput di Bandara Soekarno-Hatta oleh ajudan. “Sekalian kita nostalgia Bung, lama kita tak ketemu,” kata Andi Arief dalam telponnya kemaren. Ah ya, Andi Arief pernah cukup dekat pada saat ia menjadi aktivis UGM tahun 90-an. Saya sama sekali tak menyangka, bagaimana rute orang ini bisa jadi salah seorang tim pembantu presiden. Tapi sepertinya ia menikmati takdir sejarah yang hebat. Dulu diculik tentara, tak pernah aman saat menjadi anak kos di Jogja. Kini menjadi kawan dekat Presiden. Ah, saya tak peduli. Di atas pesawat, saya masih menebak tentang agenda pertemuan dengan Presiden nanti siang di Cikeas.

Di bandara Soekarno-Hatta saya dijemput dengan ramah di pintu 1A. Tanpa banyak basa-basi, saya dijemput sebuah Alphard keluaran terbaru. Hmm, mobil yang nyaman di tengah Jakarta yang macet. Mobil ini lebih bagus ketimbang mobil tua saya di Jogja. Seorang petugas menawarkan saya soft-drink. Saya terima dan langsung minum karena saya sangat haus.

“Maaf Pak, siapa aja yang akan hadir dalam pertemuan ini,” saya memberanikan diri bertanya.
“Cuma Anda yang diundang,” kata ajudan, dingin tapi berwibawa.
“Ooooh…,” saya bergumam dan tak tertarik lagi bertanya. Saya manfaatkan tidur di dalam Alphard. Jarang sekali saya bisa naik mobil mewah, pikir saya.

Tibalah saya di Puri Cikeas. Sebuah Puri yang sangat asri. Di sisi kiri kanan terdapat bunga lili. Anggrek bulan dan bambu Jepang nampak menyembul di antara daun kuping gajah yang segar. Ada pohon angsana, palem dan juga bougenvile yang tengah menumbuhkan bunga. Suara burung bercicit. Saya cukup kagum karena tidak ada burung yang dikandangin. Ada juga kalkun dan burung merak seperti menyambut kedatangan. Kolam ikan cukup tertata. Ada ikan koi warna-warni, tubuhnya meliuk-liuk seperti penari. Juga lele putih, yang mengkilap saat tubuhnya berkecipak di antara batu taman. Tempat ini sungguh romantis, asri dan membuat betah.

Andi Arief tiba-tiba datang. Wah, ia semakin gemuk dan sentosa sepertinya. Mantan demonstran itu semakin kelihatan jinak di tempat yang nyaman ini. Ia menawarkan rokok putih. Saya menolaknya.

“Sudah tujuh bulan saya berhenti merokok Bung,” kata saya. Andi Arief ketawa. Dia mengutip apa yang diucapkan dahulu, saat kami di Jogja.
“No smoker no revolution Bung,” katanya setengah berbisik. Saya tertawa lepas, sebelum saya hentikan setelah diberi tahu Presiden akan segera keluar ruangan.
Dan sosok tegap dan berwibawa itu muncul dari arah pintu gebyok dengan ornamen gaya Jogja. Itu dia Pak Presiden…pekik saya dalam hati saat melihat sosok tegap, rapih dan dengan rambut yang selalu disisir ke sebelah kanan. Ia memakai batik motif pekalongan berwarna biru. Kelopak matanya — seperti yang sering saya lihat di tv — begitu tebal pertanda ia gemar membaca.Atau juga ia terkena insomnia memikirkan negara yang terus dilanda prahara.

“Selamat datang selamat datang Bung Adde..,” ucapnya hangat. Saya sungguh kikuk. Para ajudan langsung menyingkir secara otomatis. Andi Arief juga berlalu seperti seorang pembantu. Saya menyalami Presiden dengan amat canggung.

“Silakan…,” katanya sambil mengajak ke sebuah joglo yang amat anggun dan aristokratik. Saya tanpa suara langsung mengikutinya.
“Mau kopi…?,” tanya Pak Presiden sangat ramah. Ia seperti tahu saya penggila kopi hitam. Tak lama, kopi dalam cangkir warna kuning gading pun datang.
“Santai saja Bung Adde…nggak usah terlalu tegang,” ucap Pak Presiden dengan timbre suara yang berwibawa.
“Saya mengundang Anda kemari cuma untuk diskusi…. “
“Terima kasih Pak Presiden,” jawab saya sambil mengontrol emosi.
“Beginilah saya kalau tidak bertugas. Santai dan tak terlalu serius…”
Saya cuma tersenyum.

Pak Presiden akhirnya menceritakan kelelahannya menjadi pemimpin negeri yang amat kompleks ini. Ia mengeluh tentang banyak hal, dari mulai kasus Century, korupsi anak buahnya di Demokrat, kerusuhan dan pembunuhan di Sampang dan Solo hingga masalah politik luar negeri.

“Semisal anda jadi Presiden hari ini…apa yang akan Anda lakukan, Bung Adde?”
Pertanyaan yang amat sulit. Tapi saya berusaha rasional.
“Terus terang saya tak bisa menjawab Pak Presiden…tapi mungkin saya akan mengundurkan diri saja..”
Pak Presiden terdiam. Ia menerawang ke arah pohon klengkeng di pojok kiri Puri Cikeas.
“Mengapa harus mundur pilihannya..?,” tanya Bapak Presiden sambil memandang saya.
“Suasana sangat gaduh Pak Presiden…saya juga tak terlalu yakin dengan kapasitas orang di luar Bapak”
“Oooo,” ujarnya sambil menikmati camilan.
“Tapi perjuangan belum selesai Bung Adde?” tanyanya.
“Bapak sudah mencapai apa yang selayaknya dicapai oleh pemimpin di sebuah negeri yang terlalu banyak maunya…” ujar saya.
“Terus, kemana saya kembali setelah tak jadi Presiden..”
“Ke Demokrat?” tanyanya.
“Anda lebih hebat dari partai Anda, Pak Presiden”
“Ke tentara?”
“Anda terlalu demokrat untuk seorang tentara Pak Presiden”
“Atau saya bikin yayasan…?”
“Sepertinya itu sudah tak bisa lagi Pak Presiden. Semakin banyak yayasan, semakin banyak masalah..”
“Lalu…kemana saya harus kembali…?”

Saya meminum kopi untuk menenangkan suasana. Saya takut bicara saya terlalu kebablasan. Bagaimanapun, ia adalah Presiden saya, saya harus memberi respek terhadapnya seperti ia juga memberi respek pada saya.

“Bapak Presiden…,” saya berujar, “Ijinkan saya memberi sedikit masukan”
“Silakan Bung Adde”
“Jika Bapak mengundurkan diri…Bapak bisa menulis lagu. Saya amat yakin, lagu-lagu Bapak akan dibeli seluruh masyarakat Indonesia karena akan sangat monumental…Belum lagi yang membeli lagu Bapak sebagai ring back tone bagi ponsel mereka…”
“Jadi Anda menganggap prestasi saya hanya dalam membuat lagu…?”
Suara Pak Presiden tiba-tiba meninggi. Saya ditatapnya. Saya mungkin agak lancang….
“Sama sekali tidak Bapak Presiden. Bapak punya kapasitas yang hebat di dunia enterteinment, Pak Presiden…”


TELEPON seluler saya berdering…saya terkesiap dan kaget.
“Hallo,” jawab saya..
“Pak…kuliah masuk nggaaaaaakkkkk…udah ditungguin mahasiswa dari tadi nih..” suara mahasiswa tiba-tiba melengking dari seberang telpon menyadarkan saya dari mimpi sore itu.
“Tunggu sepuluh menit!,” jawab saya.

“Oke Pak, jangan kelamaan!,” mahasiswa itu memberi sedikit ultimatum.

Saya lihat jam…waduh, saya harus memberi kuliah. Bergegas saya cuci muka. Saya baru saja terjaga dari mimpi: mimpi diundang SBY ke Cikeas. Mimpi yang liar, berlebihan dan sekaligus amat politis. Ah, bahkan dalam mimpi pun, manusia Indonesia selalu berpolitik…!

(M-01)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: