“Dikepung” Didi Kempot
Oleh: Adde M Wirasenjaya (Seorang Penulis tinggal di Yogyakarta)
Sebagai orang Sunda, saya merasa Didi Kempot “melempar saya ke ruang minoritas”. Pernah suatu hari saya di kampus bertemu beberapa kolega nyetel lagu “Sewu Kuto” sambal merem melek dan menjentik-jentikan jarinya di depan laptop. Belanja ke supermarket, musik dari pengeras suara toko melantunkan “Stasiun Balapan”. Jalan-jalan di Malioboro, pengamen dengan mendayu-dayu menyanyikan “Cidro”. Anak-anak saya beberapa bulan terakhir terlihat menghayati banget playlist Lord Didi di ponselnya. Kumpul dengan tetangga di komplek, Didi Kempot selalu jadi trending percakapan.
Sebagai orang Sunda-Banten, saya benar-benar ambyar secara kultural. Saya besar dengan lagu Rhoma Irama dan juga lagu-lagu Darso – ini Didi Kempot dari tanah Sunda — jadi perlu beberapa lama bagi saya untuk merasa nyaman dengan lirik yang tak saya pahami tapi dengan aransemen musik yang amat mudah ditebak dari Mas Didi. Lagu-lagu Didi Kempot, menurut saya, bagai google map: tentang terminal, stasiun, dan beberapa tempat di kota Jateng-DIY. Di terminal dan di stasiun, tempat janji dimulai dan kangen berakhir, tempat kita memulai perpisahan sekaligus mengakhiri pertemuan, tempat yang semula taman tetapi nyatanya sering jadi kuburan bagi kesetiaan.
Tetapi ada satu fase dalam hidup dimana lagu dan musik Didi Kempot terasa sangat romantis bagi saya. Istri saya, kebetulan orang Jawa Timur. Tinggal di Madiun. Saya pelanggan tetap bus yang kencengnya amit-amit, Sumber Kencono, untuk menjalankan kewajiban sosial saya sebagai lelaki: nengok calon nyonya ke Madiun. Nah, saat jadi bus mania inilah Didi Kempot mengepung saya: dari pengamen yang bermodal galon dan ukulele, saat mampir ngopi sejenak di Terminal Tirnonandi – lagu Didi kempot menjadi top hit pengamen Jogja-Madiun. Begitulah saya mulai merasa menerima irama musiknya sambil menerawang ke sudut-sudut kota dari jendela bus antar kota. Lagu-lagunya seperti navigasi yang menuntun pada pertemuan dan patah hati, pada distansi yang harus kita jalani.
Kemarin saya ikut bersedih, karena saya mulai menikmati “bergabung ke ruang mayoritas” oleh Didi Kempot tetapi sang navigator jiwa-jiwa yang galau itu harus mengadap Tuhan. Didi kempot melatih saya untuk “menjadi Jawa”, menjadi lebih terbuka, menikmati “Pamer Bojo” dalam kehidupan saya di Jogja. Lewat Didi Kempot, paling tidak saya menjadi paham bahwa menyukai irama dan jiwa kaum mayoritas adalah bentuk adaptasi dan toleransi yang membuat dunia tidak ambyar oleh batas yang secara egois kita bentuk sendiri….
Sugeng tindak, Kang Didi Kempot
(M-01)