Jakarta, Beritaterkini.co.id- Dorongan sejumlah pihak agar pencabutan hak-hak narapidana, termasuk remisi, dilakukan melalui putusan hakim bakal sulit direalisasikan. Sebab, pemberian hak-hak narapidana berikut syarat dan tata caranya merupakan kewenangan pemerintah dalam hal ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Dorongan agar pencabutan hak-hak narapidana dilakukan oleh hakim muncul setelah Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis lalu menyatakan pemberian remisi menjadi otoritas penuh lembaga pemasyarakatan tanpa diintervensi oleh lembaga lain, terutama jika campur tangan itu bertentangan dengan semangat pembinaan para warga binaan. Setiap warga binaan berhak mendapatkan hak tersebut tanpa pengecualian. Pengecualian hanya dapat dilakukan dengan putusan hakim seperti yang dilansir dari kompas pada hari Jumat, 1/10/2021.
Saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (2/9/2021), mantan hakim agung Gayus T Lumbuun mengungkapkan, pemberian remisi bukan urusan pengadilan. Hal tersebut urusan pemerintah, yang diwakili menteri, dengan memperhatikan keadaan lembaga pemasyarakatan. Misalnya, narapidana tersebut berkelakuan baik.
Para hakim agung menunggu pelantikan di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Rabu (9/11/2011). Mereka, antara lain, Suhadi, Nurul Elmiyah, Dudu Duswara Machmudin, Andi Samsan Nganro, Hary Dajtmiko, dan Topane Gayus Lumbuun.
”Kelakuan baik itu, menurut saya, berkaitan dengan pelanggaran atau perbuatan hukumnya. Terpidana narkotika bisa menghentikan jaringannya. Kalau terpidana korupsi, mengembalikan hasil kejahatan sepenuhnya. Kalau terorisme, juga bisa menyetop sel-sel jaringannya. Jadi kelakuan baik itu bukan tidak berbuat onar. Itu kan perilaku, tidak berkaitan dengan perbuatan hukumnya,” ujar Gayus.
Hal senada juga diungkapkan oleh pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, dan Guru Besar Hukum Pidana pada Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho. Keduanya berpendapat remisi tidak bisa dimasukkan dalam putusan hakim karena itu murni kewenangan lembaga pemasyarakatan (LP).
Karena itu, remisi bukan wilayah peradilan. Tetapi lebih merupakan kewenangan dalam konteks rehabilitasi yang dilakukan oleh institusi pemasyarakatan.
Menurut Fickar, pencabutan ataupun pemberian remisi dalam putusan hakim dapat menjadi sebuah ketidakpastian hukum. Sebab, seseorang belum tentu dihukum seperti yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama. Bisa jadi, putusan di tingkat banding dan kasasi dibebaskan.
Sehingga menurut Fickar, remisi bukan menjadi kewenangan peradilan. Remisi diberikan sebagai bentuk apresiasi kepada narapidana yang berkelakukan baik, untuk kemudian ditingkatkan dengan asimilasi dan pembebasan bersyarat.
”Karena itu, remisi bukan wilayah peradilan. Tetapi lebih merupakan kewenangan dalam konteks rehabilitasi yang dilakukan oleh institusi pemasyarakatan,” ujarnya.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, peneliti Indonesia Corruption Watch Lalola Easter, dan dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar (kiri ke kanan) menjadi narasumber pada dikusi bertajuk ”Remisi untuk Koruptor: Tetap Dipertahankan atau Dilonggarkan?” di Jakarta, Senin (6/4/2015).
Terkait dengan upaya pemerintah mengetatkan pemberian remisi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, hal tersebut dapat dipahami terutama bagi narapidana kasus korupsi. Dalam PP tersebut diatur, bagi narapidana tindak pidana khusus seperti korupsi, narkotika, terorisme, perdagangan orang, dan lainnya, baru dapat diberikan remisi dan pembebasan bersyarat apabila salah satunya menjadi justice collaborator (JC) atau pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum dalam membongkar kejahatan. Hal tersebut dibuktikan dengan keterangan tertulis dari lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta Badan Narkotika Nasional (BNN).
Menurut Fickar, pengaturan tersebut sah untuk dilakukan. Keterlibatan kepolisian, kejaksaan, KPK, dan BNN yang kemudian turut menentukan diberikan atau tidaknya remisi kepada narapidana tidak menjadi masalah, meskipun sebelumnya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pemberian remisi sepenuhnya merupakan otoritas LP.
”Yang mensyaratkan justice collaborator, kan, pemerintah sendiri. Sedangkan lembaga lain, kan, memberikan pertimbangan. Hanya saja, setelah putusan MK pertimbangan tersebut tidak mengikat,” kata Fickar.
Menurut dia, saat ini lembaga yang seharusnya perlu diawasi adalah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM. Pengawasan itu penting agar nantinya remisi tidak diperjualbelikan.
Sebelumnya, MK dalam putusannya mengatakan, substansi rumusan norma pada peraturan pelaksana UU No 12/1995 harus mempunyai semangat yang sebangun dengan filosofi pemasyarakatan yang mengakomodasi dan memperkuat pelaksanaan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta keadilan restoratif. ”Berkaitan dengan hal itu, sejatinya hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali,” kata Hakim MK Suhartoyo.
Tetap melalui PP
Peneliti Center for Detention Studies (CDS) Gatot Goei mengatakan, MK berkali-kali menegaskan pemberian remisi adalah kewenangan pemerintah. Dalam pertimbangannya, hak-hak napi bukanlah merupakan hak konstitusional, melainkan hak warga negara. Implikasi dari hak warga negara, pemerintah dapat mengatur perolehan hak-hak itu. Misalnya, syarat-syarat perolehannya bagaimana oleh napi.
”Sebagai hak dan kewajiban warga negara, syaratnya diatur oleh pemerintah. Misalnya, berapa tahun seorang napi menjalani hukuman baru bisa mendapatkan hak remisi dan asimilasi. Dalam kasus korupsi, dan kejahatan berat, misalnya, karena dianggap kejahatan serius, diatur pula pemberian hak dan pelaksanaan kewajibannya di dalam PP,” katanya.
Gatot menilai pengaturan syarat-syarat pemberian hak napi yang diatur di dalam PP No 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan merupakan sesuatu yang wajar, karena kewenangan pemberian hak napi ada di tangan pemerintah. PP itu pun sudah beberapa kali diuji materi ke Mahkamah Agung (MA). Dalam semua putusannya, MA menyatakan PP No 99/2012 tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, yakni UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan.
”Tidak bisa juga dalam pembinaannya, maling ayam disamakan dengan pembunuh berencana. Karena kejahatannya berbeda, dan tentu pembinaannya oleh LP juga berbeda. Begitu juga terhadap napi terorisme, yang harus mengikuti deradikalisasi, tidak bisa disamakan dengan napi lainnya,” katanya.
Perlakuan yang berbeda dalam pembinaan napi itu, lanjut Gatot, harus diatur pula di dalam PP. Penerbitan PP No 99/2012 dinilai sebagai upaya menerjemahkan kewenangan pemerintah dalam pengaturan hak-hak napi, termasuk dengan menerapkan syarat-syarat tertentu.
”Jadi tidak bisa disamaratakan antara napi satu dan napi lainnya. Dalam pemberian remisi mesti diukur pula apakah perilakunya telah berubah, dan apakah ia masih mengancam masyarakat ataukah tidak,” katanya.
Dalam praktiknya, tidak semua napi yang dikenai syarat justice collabolator sebagaimana diatur dalam PP No 99/2012 itu tidak mampu memenuhi syarat tersebut. Menurut Gatot, ada banyak juga napi yang bisa memenuhi syarat itu sehingga tetap memeroleh hak remisi, asimilasi, pembebasan bersyarat, dan hak-hak lainnya. Artinya, sepanjang syarat-syarat itu dapat dipenuhi, hak mereka tetap bisa dipenuhi.
Pascaputusan MK, menurut Gatot, implementasi pengaturan hak-hak napi tetap merupakan kewenangan pemerintah yang harus dituangkan ke dalam PP. Kalaupun ada celah di dalam pengaturan remisi yang berimplikasi pada kepadatan LP, regulasinya yang mesti dibenahi. Misalnya, dengan tidak memenjarakan pengguna narkotika, tetapi memasukkan mereka ke panti rehabilitasi.
Putusan hakim
Dari perspektif berbeda, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, putusan MK telah membantu meluruskan pandangan mengenai konsep pemasyarakatan. Pertimbangan MK dinilai sudah tepat. Pembatasan pemberian remisi dengan berbasis pada jenis kejahatannya dinilai tidak sesuai dengan konsep pemasyarakatan, sebab ketika telah dijatuhi vonis hakim, status napi satu dengan napi lainnya sama.
”Semua perbuatan kejahatannya telah dipertimbangkan hakim saat menjatuhkan vonis kepadanya sehingga tidak seharusnya seorang napi itu terus dikaitkan dengan perbuatan yang telah diputus. Kalau dia terus diberati dengan perbuatannya, dia berarti terus dihukum sekalipun dia sudah menjalani hukumannya itu,” katanya.
Penegakan hukum, menurut Taufik, sejatinya telah berakhir ketika hakim menjatuhkan vonisnya. Pada tahap selanjutnya, terpidana tersebut menjalani pembinaan atau pemasyarakatan di LP. Napi itu tidak dapat lagi dinilai berdasarkan perbuatan yang kepadanya sudah diberikan hukuman.
”PP No 99/2012 mengacaukan konsep pemasyarakatan yang kita bangun. Kedua, ada kendala mendasar di dalam PP itu, yakni adanya syarat JC. Padahal, tidak bisa dipastikan untuk setiap kasus bisa diperoleh JC, itu kasusistik. Memang ada kasus-kasus yang informasinya terputus sehingga tidak bisa membongkar kejahatan lebih luas lagi,” katanya.
Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya menangkap 16 orang, yaitu 3 tersangka (WNI) merupakan narapidana LP Cipinang, 2 tersangka (WN Singapura dan Nigeria) narapidana Nusakambangan, dan 11 lainnya WNI yang tertangkap di luar LP, pada gelar perkara di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (28/1/2013). Polisi mendapati barang bukti 6,2 kg sabu, 6.700 butir ekstasi, 2.300 butir ekstasi kapsul, dan 1.100 butir H5, senilai Rp 13, 5 miliar.
Dalam kasus narkotika, misalnya, tidak semuanya adalah pengedar besar. Sebagian besar adalah pemakai, yang mungkin kesulitan untuk menjelaskan jaringan narkotika lebih luas kepada peengak hukum. Akibatnya, pemakai itu tidak bisa mengupayakan JC. Hal itu menjadikannya tidak bisa memperoleh hak-haknya sebagai napi, sekalipun ia berkelakuan baik. Kondisi itu sekaligus turut berimplikasi terhadap kepadatan LP yang kian parah.
”Kita tidak bisa menggeneralisasi pembatasan hak napi ini berdasarkan latar belakang atau jenis kasusnya. Karena setiap kasus, baik itu korupsi, narkotika, maupun terorisme, pasti beda peran-perannya,” kata Taufik.
Taufik setuju jika pembatasan hak napi itu diberikan oleh hakim melalui putusannya. Pemberian pidana tambahan berupa pencabutan hak remisi itu dimungkinkan. Sama halnya dengan pencabutan hak politik terpidana korupsi, yang juga kerap dijatuhkan oleh hakim. ”Hakim bisa memutuskan pidana tambahan dengan mencabut remisi dalam kasus-kasus tertentu yang dipandang berat. Sama halnya saat hakim mencabut hak politik seorang pejabat dalam kasus korupsi,” ucapnya.
Sumber :Kompas.com
Editor : Rg