Kondisi Lapas
Hampir semua Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan) di Indonesia mengalamai Over Capacity karena ketidakseimbangan penghuni Rutan/Lapas antara yang masuk dan keluar. Upaya untuk membangun tempat-tempat baru Lapas dan Rutan yang dilakukan pemerintah melalui Ditjen Pemasyarakatan, Kemenkumham dengan tujuan menambah jumlah hunian, tidak bisa menjawab menyelesaikan adanya over capacity karena laju napi yang masuk Lapas jauh lebih tinggi dengan laju penambahan kamar. Pada saat ini terjadi over Capacity 2 sampai 3 kali lipat dari kapasitas sehingga kondisinya sudah dapat digolongkan dalam kategori extreme over capacity.
Masalah over capacity merupakan masalah serius dan tidak bisa dianggap enteng karena mempunyai dampak negatif yang dahsyat di antaranya pertama kondisi sanitasi di Lapas menjadi buruk, sehingga menimbulkan tekanan psikologis dan menimbulkan berbagai penyakit kronis seperti penyakit disfungsi degeneratif dan penyakit kronis (kulit, paru, hipertensi, diabetes, dan lainnya). Banyaknya napi yang menderita penyakit dapat mengakibatkan endemik dan pandemik di dalam Rutan/Lapas sehingga pada gilirannya kalau tidak tertangani akan mengakibatkan kematian massal yang terencana (genoside). Kalau hal ini terjadi berarti Negara telah melakukan pelanggaran HAM berat; kedua menimbulkan kriminalitas baru dalam Lapas berupa perkelahian sesama warga binaan dan tindakan lainnya yang seolah-olah Lapas berubah fungsi menjadi universitas kejahatan (academy of crime). Jika hal ini terjadi maka tujuan pemasyarakatan untuk membina narapidana agar siap kembali hidup normal di tengah masyarakat gagal total.
PP 99 Tahun 2012 Menjadi Sumber Masalah
Terjadinya over Capacity di Lapas-Lapas salah satu penyebabmya karena PP 99 tahun 2012. Selain menimbulkan over capasiy, pemberlakuan PP 99 tahun 2012 telah menimbulkan banyak masalah sehingga harus dicabut.
Masalah yang ditimbulkan di antaranya adalah : pertama secara filosofis, PP 99 tahun 2012 tidak sejalan dengan tujuan pemidanaan seperti yang diamanatkan Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menyebutkan bahwa pemasyarakatan bertujuan untuk membina narapidana agar siap kembali hidup normal di tengah masyarakat bukan wujud dari balas dendam. Pada dasarnya, narapidana korupsi bukan hanya menjadi obyek melainkan juga sebagai subyek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga harus diperlakukan secara manusiawi. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatannya dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai. Narapidana adalah seperti orang menderita sakit yang harus disembuhkan bukan untuk ditambah lagi penyakitnya;
kedua PP 99 tahun 2012 bersifat diskriminatif karena pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat tidak diberlakukan pada narapidana pidana umum (pidum) seperti tindak pidana pembunuhan, pemerkosaan, pencabulan anak, dan pencurian atau perampokan dengan kekerasan, kejahatan lingkungan. Padahal bentuk kejahatan tersebut sangat berbahaya bagi masyarakat.
ketiga Jiwa PP 99 tahun 2012 sepertinya ingin mengembalikan sistem pemasyarakatan menjadi pemenjaraan yang bersifat balas dendam dan penuh rasa kebencian yang bertentangan dengan Pancasila, khususnya sila kedua yaitu kemanusian yang adil dan beradab;
keempat secara de jure pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat tidak menghilangkan hak narapidana, tetapi secara de facto menghilangkan hak narapidana mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat karena persyaratannya yang sangat ketat sehingga hampir mustahil dapat dipenuhi, terutama persyaratan harus menjadi justice collaborator.
kelima, dengan adanya PP 99, narapidana yang berbuat baik dan bertobat setelah di penjara sama saja perlakuannya dengan narapidana yang berkelakuan kurang baik, yaitu sama-sama tidak mendapat remisi dan pembebasan bersyarat;
keenam, alasan yang sering dikemukakan bahwa PP 99 dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera bagi terpidana korupsi adalah alasan yang dicari-cari. Tindak pidana korupsi hanya bisa dilakukan jika mempunyai kewenangan, sedangkan narapidana korupsi sudah tidak mempunyai kewenangan atau kekuasaan yang dapat digunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Seorang pegawai negeri sipil yang dinyatakan terbukti korupsi akan dipecat sehingga bagaimana mungkin seseorang yang telah dipecat mempunyai kewenangan untuk melakukan korupsi lagi. Artinya tidak mungkin menimbulkan efek jera bagi seseorang yang telah dihukum. Dengan demikian, PP 99 tidak dapat dijadikan alasan untuk menimbulkan efek jera bagi narapidana korupsi. Jika yang efek jera ditujukan agar orang lain tidak bebuat korupsi juga tidak terbukti karena faktanya indek persepsi korupsi kita masih tetap tinggi. Indkes Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) Indonesia pada tahun 2019 masih buruk yang nilainya hanya 38 yang sama dengan Negara-negara Burkina Faso, Guyana, Lesoto, Trinidad Tobago .
Penutup
Dari uraian singkat tersebut mestinya PP 99 tahun 2012 harus dicabut karena bersifat diskriminatif dan melanggar HAM; menghilangkan hak narapidana mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat; tidak sesuai dengan system pemasyarakatan dan tidak bisa dijadikan alasan untuk efek jera bagi napi korupsi.
Sumber : NA
Wartawan : Asep
Editor : Jaya
This post offers clear idea for the new users of blogging,
that truly how to do blogging and site-building.
Magnificent beat ! I wish to apprentice while you amend your site,
how can i subscribe for a blog web site?
The account aided me a acceptable deal. I had been tiny bit acquainted of this your broadcast
provided bright clear concept
Hi , I do believe this is an excellent blog. I stumbled upon it on Yahoo , i will come back once again. Money and freedom is the best way to change, may you be rich and help other people.