BeritaNasional

DPW FBI Sumsel Mendesak Presiden RI Melakukan Moratorium Produk Layanan BPJAMSOSTEK Dan Evaluasi Aturan BPJS

Palembang,Berita Terkini.Co.id Dewan Perwakilan Federasi Buruh Indonesia Sumatera Selatan mendesak Presiden Republik Indonesia melakukan moratorium produk layanan BPJAMSOSTEK dan Evaluasi Aturan BPJS.

Dalam rangka mewujudkan tatanan keadilan sosial dan jaminan sosial bagi kaum pekerja,Negara dalam hal ini Pemerintah telah merumuskan sebuah aturan yang kelak menjadi payung hukum atas jaminan sosial kesejahteraan bagi masyarakat umum khususnya buruh,” ujar Ketua DPW Federasi Buruh Indonesia Sumsel, Andreas OP rilis media,jumaat (25/02/22)

Dengan diterbitkan Undang-undang No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional,Undang-undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara JaminanSosial,Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian, Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun.

Peraturan Pemerintah No. 46 tahun 2015 tentangPenyelenggaraan Program Jaminan Hari tua, permenaker No no 19 tahun 2015 tentang tata cara persyaratan pembayaran JHT yang akhirnya dicabut dengan terbitnya Permenaker No: 2 tahun 2022 tentang tata cara persyaratan pembayaran JHT
Polemik pelaksanaan program BPJS terus terjadi, bongkar pasang aturan, banyak nya Produk layanan yang tumpang tindih menambah carut marut tata kelola program BPJS, dengan data kepesertaan BPJS Kesehatan mencapai 222,5 juta orang per 31 Desember 2020, dan peserta BPJS Ketenaga kerjaan mencapai 30,66 juta peserta aktif hingga kuartal IV-2021, menunjukan tingkat kebutuhan pekerja/ buruh dan masyarakat umum terhadap jaminan kesehatan dan jaminan sosial sangatlah tinggi
Program BPJS ketenagakerjaan yang harusnya menjadi jaminan bagi pekerja untuk mendapat manfaat dari program yang di sediakan oleh BP JAMSOSTEK dalam prakteknya masih jauh dari harapan, Program Jaminan Hari Tua (JHT), Program Jaminan Pensiun (JP),Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Program Jaminan Kematian (JKM),

Program baru produk omibuslaw Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) adalah Bunga –bunga dalam moziak ketenagaan, indah namun sulit didapatkan oleh buruh /pekerja dalam prakteknya.
Merujuk pada UU No 40 TAHUN 2004 TentangSJSN, khusunya Pasal 35 ayat (1) Jaminan hari tua diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib, Dari pengertian dan maksud pasal tersebut jelas tergambar bahwa ada 2 semangat yang melandasi lahirnya program JHT, Pertama JHT sebagai assuransi adalah suatu perjanjian dengan manfaat seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi.

untuk penggantian kepadanya karena suatu kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkinakan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tertentu”, Selanjutnya Kedua JHT sebagai tabungan adalah simpanan uang perorangan atau suatu badan usaha pada bank dengan syarat-syarat yang sesuai ketentuan pihak bank.

Dari difinisinya jelas tergambar bahwa semangat program JHT sebagai Produk BPJS Ketenagakerjaan, memiliki fungsi sebagai asuransi dan tabungan sehingga dapat dapat dianalogikan bahwa BP Jamsostek sebagai oprator pelaksanan program JHT dan turunya adalah idealnya adalah Lembaga assuransi dan perbankan, jika kita kembali ke landasan yuridis pembentukan cikal bakal prorgam Jaminan sosial di mulai dari UU No. 33 Tahun 1974 jo UU No. 2 Tahun 1951 tentang Kecelakaan Kerja.

Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No. 48 Tahun 1952 jo PMP No. 8 Tahun 1956 tentang Pengaturan Bantuan untuk Usaha Penyelenggaraan Kesehatan Buruh PMP No. 15 Tahun 1957 tentang Pembentukan Yayasan Sosial Buruh PMP No. 5 Tahun 1964 tentang Pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial (YDJS), UU No. 14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Tenaga Kerja, dan di lanjutkan dengan lahirnya UU No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional,Undang-undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara JaminanSosial , tidak nampak satupun aturan yang mendasari semangat assuransi dan perbankan yang di usung dalam praktek BPSJ sebagai mana di atur dalam UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan UU No.40 Tahun 2014 tentang Perassuransian.
Merujuk pada program BP Jamsostek yang ditawarkan kepada pekerja/buruh dan umum menurut kajian DPW FEDERASI BURUH INDONESIA SUMATERA SELATAN terindikasi melanggar syarat –syarat per assuransian berkaitan dengan Premi, Polis Asuransi, Klaim.

Dalam prakteknya peserta program BP JAMSOSTEK hanya diatur soal premi ( iuran), sedangkan informasi hingga fisik polis assuransi yang wajib dipegang oleh peserta sebagai bukti dan dasar klaim atas premi yang sudah dibayarkan, hingga saat ini masih belum jelas kebradaanya dan tidak pernah ada, hanya berbekal kartu keanggotaan proses pencairan bisa di lakukan .

Sehingga jika merujuk UU No.40 Tahun 2014 tentang Per assuransian, peserta program BP Jamsostek terindikasi memiliki posisi yang lemah dan atau tidak memiliki kepastian hukum berkaitan dengan hak kepesertaan, Jaminan pembayaran oleh penyelenggara, hal diperkuat dengan bongkar pasang aturan soal JHT yang secara legal bisa berubah ubah menurut tafsir pihak penguasa (contoh kasus keluarnya Permenaker no 2 tahun 2022 ).
UU NOMOR 24 TAHUN 2011, Pasal 11 Dalam melaksanakan tugas sebagai mana dimaksud dalam Pasal 10, BPJS berwe nang untuk: Point b. menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai, merujuk pasal tersebut memberikan kewenangan penuh kepada Dewan direksi untuk melaksanakan dan menjalankan oprasional BPJS secara utuh atas biaya dan pengembangan dana simpanan peserta untuk diputarkarkan ( investasikan ) dalam bentuk Saham, surat berharga lainya, pembentukan unit bisnis di bawah BPJS mengidikasikan betapa luasnya ruang di BPJS untuk menjadi ancaman dikemudian hari bagi pekerja jika transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dana BPJS tidak diawasi dan di audit secara rutin dapat menjadi lahan basah bagi KKN.

Merujuk pasal 37 Ayat (1) BPJS wajib menyampaikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya dalam bentuk laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan public kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN paling lambat tanggal 30 Juni tahun berikutnya, menjadi rambu bagi penyelenggara BPJS untuk berkerja dan siap dievaluasi oleh presiden melalui mekanisme yang diatur, sehingga dalam kontek terbitnya Permenaker No 2 Tahun 2022 yang telah menimbulkan pro kontra serta penolakan buruh mendorong DPW FEDERASI BURUH INDONESIA SUMSEL berdasarkan kajian organisasi menyimpulkan sementara bahwa telah terjadi dugaan penyimpangan tujuaan awal dibentuknya BPJS dan dugaan maladministrasi dasar hukum pengoprasian program BP JAMSOSTEK jika ditelisik dari kesejarahan, dasar hukum pembentukan dan kewenangannya, kami mendesak kepada Bapak Presiden Republik Indonesia untuk segera mengambil Langkah – langkah cepat untuk melakukan perbaikan aturan dan perangkat sistem jaminaan sosial Nasional.

Kesimpulan sementara organisasi dan tentunya diperlukan kajian lebih mendalam oleh pihak yang berkompeten khususnya DPR dan pemerintah serta melibatkan praktisi hukum dan lembaga universitas.

Oleh karena itu DPW FEDERASI BURUH INDONESIA SUMATERA SELATAN meminta dan mendesak kepada:

1. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA untuk dapat melakukan moratorium produklayanan BPJS hingga terbitnya peraturan baru.

2. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA untuk dapat melakukan kajian produk layanan BPJS yang diduga terjadi mal administrasi dan dugaan terjadinya penyimpangan prinsip dasar didirikannya Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui kelambagaan BPJS.

3. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA untuk membuka ruang evaluasi kinerja,keuangan dan pertanggungjawaban dewan direksi BPJS.

4. KEMENTRIAN KEUANGAN melalui OJK untuk dapat turut serta melakukan pengawasan terhadap kinerja BP JAMSOSTEK khususnya dalam praktek bisnis lanjutan yang dijalankan.

5. KEMENTRIAN TENAGA KERJA untuk segera melalukan revisi terhadap peraturan turunan program Layanan BPJS yang dinilai tumpang tindih dan tidak adanya konsistensi kebijakan terhadap tujuan awal program jaminan social.

6.KEMENTRIAN TENAGA KERJA untuk mencabut dan merevisi Permenaker No:2 tahun 2022 tentang tata cara persyaratan pembayaran JHT yang terindikasi melanggar prisip dasar per assuransian dan perbankan

7. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT untuk mendorong dibentuknya pansus untuk meninjau aturan hukum bidang BPJS.

8. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT untuk Menyusun produk hukum baku berkaitan program layanan BPJS yang dijalankan, pilihan segmentasi bisnis dan aturan mana yang harus digunakan dalam menjalankan program jaminan sosial berdasarkan kesesuaian kaidah bisnis yang dijalankan BPJS dari hulu ke hilir, sebagai upaya untuk memberikan kepastian hukum bagi perserta program dalam hal ini pekerja/Buruh dan umum yang menjadi peserta program BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

9. PIMPINAN BURUH DAN ORGANISASI BURUH diseluruh Indonesia untuk melakukan upaya hukum Bersama dalam mereview aturan dalam BPJS yang sudah terindakasi mal administrasi
Dari apa yang menjadi dasar dan sikap pengurus DPW FEDERASI BURUH INDONESIA SUMSEL bahwa dikeluarkanya Permenaker No 2 tahun 2022 menjadi puncak dugaan pelanggaran maladministrasi dasar hukum produk layanan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang kami nilai abu -aba apakah mengambil segmentasi bisnis di assuransi murni atau perbankan atau ke dua duanya, yang tentunya harus dilandasi oleh aturan bisnis dimasing-masing semgmen dan tidak digeneralisasikan secara umum.

Sebagai mana yang saat ini dijalankan dengan praktek bisnis asuransi dan perbankan namun prasyaratnya perundang undanganya tidak mendukung
Apapun yang menjadi dasar perubahan mengenai aturan program layanan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenaga kerjaan tentunya harus mengedepankan rasa keadialan bagi pihak yang melakukan ikatan ( Pekerja/Buruh dan masyarakat umum).

Bukan justru aturan digunakan untuk mengambil hak dan merugikan pihak peserta( Pekerja/buruh dan umum)
Kedepan jika masih saja tidak tuntas melakukan upaya perbaikan perangkat hukum BPJS dan produk turunya, tentunya sah dan berhak setiap pekerja/ buruh dan umum untuk melakukan pemutusan keluar dari program BPJS, dan tentunya akan menjadi peluang bagi lembaga assurasi umum untuk menggantikan peran BPJS dan makin menunjukan bahwa pemerintah gagal mewujudkan cita –cita UUD145 demi terciptanya sila kelima Pancasila ‘’keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia’’
Sudah cukup kaum buruh menjadi ladang exploitasi kaum pemodal,negara harus hadir dan menjaga marwah kemanusian warga negaranya.”Rilis

Related Articles

One Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: