Kolom

Badai Covid-19 Pasti Berlalu

Oleh : Arfanda Siregar
Dosen Politeknik Negeri Medan

“Badai pasti berlalu”, syair sebuah lagu. Bukan sekadar pemanis lagu, namun fakta. Sekencang apapun badai menghamtam kapal, pasti akan reda.

Beberapa bulan ini, dunia tiba-tiba dilanda badai. Bukan oleh angin puting beliung, namun oleh virus berukuran nanometer bernama Corona (Covid-19). Sejak Desember 2019 menebar teror di Wuhan China, lalu menyebar ke penjuru dunia membawa petaka bagi nyawa manusia.

Corona menginfeksi lebih dari sejuta orang dengan jumlah kematian mencapai 74.226 orang hanya dalam waktu tiga bulan sejak pertama kali mengganas di Wuhan. Amerika Serikat (AS) yang merupakan negara adidaya pun terpapar parah, setiap saat selalu ada korban baru. Jumlah kematian warga di sana berpacu dengan Italia sebagai negara terbanyak mengalami korban jiwa. Data terakhir, warga yang tewas mencapai 15.000 jiwa.

Indonesia tak luput menjadi incaran. Sejak pertama kali pemerintah menyatakan perang terhadap virus Corona, korban terus berjatuhan, baik yang positif terinfeksi hingga mengalami kematian. Hingga sekarang, menurut Pusat Convic-19 Indonesia terdata 280 jiwa meninggal dan 3.293 terinfeksi virus.

Sampai saat ini, perkembangan virus di Indonesia belum separah negara-negara di Eropa dan bagian Selatan. Perkembangan virus di Indonesia relatif lebih lambat. Jumlah warga yang terpapar masih di bawah negara – negara Eropa. Sebagai negara beriklim tropis yang mulai masuk musim panas, Indonesia lebih tahan terhadap serangan virus. Seperti halnya, Malaysia, Singapura, Thailand, Mesir, dan Vietnam yang berhasil mengendalikan penyebaran virus sehingga warganya yang tewas berkisar 1 atau 2 jiwa. Beberapa peneliti memang mengatakan bahwa peningkatan suhu menurunkan jumlah pertambahan kasus secara signifikan dibanding kenaikan kelembapan udara relatif (Caramelo et al :2020).

Hal ini menandakan penyebaran Corona di Indonesia dapat dikendalikan selama elemen bangsa optimis, tenang, dan konsisten melaksanakan berbagai petunjuk dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun instutusi kesehatan yang gencar menyosialisasikannya ke tengah publik. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dipilih, bukan karantina nasional (lockdown) dengan pertimbangan kemampuan keuangan negara. Penerapan PSBB, antara lain : isolasi mandiri, meliburkan kantor-kantor pemerintah dan swasta, melarang pertemuan umum, melarang perjalanan dinas, melarang penyebaran hoaks, melarang rapat-rapat, dan selalu hidup bersih.

Bersyukur sajalah dalam kondisi seperti ini dan jangan terlalu berharap negara bakal menjamin perut seluruh anak bangsa. Indonesia bukan negara kaya raya, seperti Arab Saudi, Amerika Serikat, Malaysia, Singapura, Swiss, dan Jepang yang royal kepada rakyatnya. Negara memilih PSBB berharap rakyatnya yang aktif membentengi diri dari paparan virus Corona. Sementara, kalau memilih karantina nasional, negara tak mampu menjamin perut warganegara yang berjumlah lebih 200 juta jiwa.

Lalu, bagaimana warga mencari rejeki jika harus sepanjang hari di ruma? Ya, pintar – pintarlah dan tetap berkerja. Proteksi diri harus selalu digunakan agar terhindar dari paparan Corona. Paling tidak gunakan masker, jaga jarak, hindari kerumunan, dan selalu jaga kebersihan diri, baik ketika ke luar rumah maupun masuk ke rumah. Namun, kalau perkerjaan berisiko tinggi terpapar virus, maka lebih baik beristirahat di rumah. Tokh, baik di rumah maupun di luar rumah sama-sama bertujuan mempertahankan hidup. Maka lebih baik memilih risiko terkecil, yaitu di rumah saja.

Namun bukan berarti pemerintah lepas tangan total. Pemerintah menggeser anggaran sebesar Rp. 405 triliun untuk perlindungan sosial, kesehatan, program pemulihan ekonomi, insentif pajak, dan stimulus KUR. Berdoa saja, mudah-mudahan dari dana tersebut ada yang sampai ke saku kita, bukan nyasar ke kantong aparat.

Masyarakat harus menjalankan opsi dari pemerintah. Mau bagaimana lagi. Ikuti saja. Kita bersyukur tidak seperti negara lain yang memberikan denda besar kepada rakyat yang melanggar peraturan pemerintah melawan Corona. Bahkan, aparat di India memukuli warga yang masih berkeliaran di jalan dengan tongkat. Tersebar anekdot bahwa korban pantat bengkak di negara tersebut jauh lebih besar dibandingkan yang terpapar virus.

Dalam situasi seperti ini kondusivitas negara sangat diperlukan. Orang bijak berkata, “kepala boleh panas, tapi hati tetap dingin”. Semua negara merasakan dampaknya. Ekonomi dunia suram sekarang. Bukan hanya Indonesia yang dilanda krisis ekonomi. Negara adidaya seperti AS saja sudah mulai kelimpungan menanggung hidup rakyatnya. Pengemis dan gelandangan dikumpulkan ditempatkan di satu tempat yang tak layak agar tidak menjadi media penyebaran Corona. Jika pemerintah Paman Sam tak mampu mengatasi kebutuhan ekonomi warga selama wabah, maka kerusuhan sosial mengancam di depan mata.

Banyak prediksi tentang lama wabah Corona di Indonesia. Mulai yang paling seram sampai paling ringan. Saya memilih penelitian dari ITB yang meramalkan bahwa puncak serangan Covid-19 akan terjadi pada minggu ke tiga Bulan April dan diperkirakan akan berakhir pada awal Juni 2020. Diperkirakan juga jumlah warga yang terpapar virus mencapai 6000 jiwa. Penelitian menggunakan model Richard’s Curve Korea Selatan, yang hasilnya sama persis dengan perkiraan akhir wabah virus Mers di dunia. Prediksi peneliti tersebut dapat tewujud jika penanganan pencegahan dilakukan secara serius, sigap dan disiplin oleh semua pihak. Jadi lagi-lagi yang diperlukan adalah keseriusan seluruh elemen masyarakat membentengi diri dari paparan Corona.

Beberapa negara di dunia yang terpapar virus Corona sudah mulai kembali normal. China sebagai negara pertama yang terpapar virus sudah normal dan mulai membangun kembali roda perekonomian yang sempat terhenti. Secercah harapan juga mulai menggelayut di langit Eropa, seperti Italia, Spanyol, Jerman, Austria, Prancis hingga Republik Czech yang mulai mereda dari serangan virus setelah beberapa bulan mendapat pukulan terparah.

Hampir semua negara di Eropa mengawali pertarungan tersengitnya melawan virus Corona pada awal Maret lalu. Dan sinyal harapan muncul dalam sepekan terakhir ketika kurva jumlah kasus dan kematian menunjukkan penurunan yang berarti. Meski kepahitan dan penderitaan akibat wabah virus Corona ini butuh waktu lama untuk memulihkannya ke keadaan semula.

Strategi negara tersebut hampir sama dengan pemerintah. Yang membedakan hanya komitmen masyarakat, khususnya elite politik. Di sana masyarakatnya disiplin dan komitmen melakukan pencegahan bersama-sama. Begitu juga dengan oposisi pemerintah yang tidak nyinyir dengan berbagai kebijakan pemerintah. Semua saling membahu menyelamatkan rakyat. Seperti badai yang pasti berlalu, maka serangan virus Corona pun pasti berlalu. Tak perlu takut, pesimis, dan gundah gulana. Di depan mata bumi masih tetap berputar pada sumbunya. Kehidupan manusia pun tetap berjalan seperti samudera yang tetap bergelombang. Semoga.

(M-01)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: